Azzam Rais Al Baihaqi,
UPAYA untuk mencapai rasio pendapatan negara sebesar 23% terhadap produk domestik bruto (PDB) yang dijanjikan presiden dan wakil presiden terpilih, Prabowo-Gibran, cukup menantang. Apalagi, realisasi pada 2023 hanya sekitar 13,3% PDB. Tahun ini, hingga akhir Agustus, pendapatan negara juga masih lebih rendah dibandingkan dengan kinerja pada periode yang sama pada 2023.
Khususnya, rasio penerimaan pajak terhadap PDB (tax ratio) – yang menjadi komponen dominan dari pendapatan negara – tercatat sebesar 10,31% pada 2023. Rendahnya tax ratio ini menegaskan urgensi untuk mengidentifikasi dan menggali potensi sumber-sumber penerimaan pajak yang baru. Untuk mencapai target ambisius yang telah ditetapkan, inovasi kebijakan menjadi krusial.
Sumber penerimaan pajak baru dapat menjadi solusi peningkatan pendapatan negara dalam jangka menengah hingga panjang. Salah satu strategi yang dapat dipertimbangkan adalah paket kebijakan pajak hijau. Kebijakan ini tidak hanya relevan dari sisi fiskal, tetapi juga berperan penting dalam menanggulangi krisis lingkungan yang makin mendesak.
Menurut Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD), pajak hijau merupakan pajak yang dikenakan pada aktivitas atau produk yang menimbulkan kerusakan lingkungan, seperti emisi karbon, polusi yang dihasilkan industri, dan penggunaan plastik sekali pakai. Pajak ini menekankan pada kompensasi atas eksternalitas negatif yang dihasilkan oleh industri padat emisi gas rumah kaca atau industri emissions-intensive trade-exposed (EITE).
Adapun pajak hijau telah diterapkan baik di negara-negara maju seperti Swedia, Denmark, Finlandia maupun negara berkembang seperti Afrika Selatan, Turki, dan Malaysia. Sebagai contoh, Uni Eropa pada 2021 mencatat kontribusi pajak hijau sebesar 5,4% terhadap PDB mereka (European Environmental Agency, 2021).
Di Indonesia sendiri, cetak biru penerapan pajak hijau mulai terbentuk dengan dimasukkannya pajak karbon dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang rencananya akan diimplementasikan secara penuh pada 2025. Namun, penerapan cukai plastik, minuman berpemanis, dan pajak energi juga bisa diterapkan dalam paket kebijakan pajak hijau.
Dalam kondisi saat ini, penerapan paket kebijakan pajak hijau menjadi makin mendesak. Hal ini dikarenakan biaya yang ditanggung oleh pemerintah untuk menangani eksternalitas negatif, seperti polusi dan kerusakan lingkungan, terus meningkat.
World Bank (2019) merekomendasikan beberapa langkah, yakni mempertimbangkan penerapan pajak karbon, menginterpretasikan tujuan nasional dan keadaan negara, menentukan basis dan tarif pajak serta penggunaan dari pajak hijau yang dipungut, melakukan pengawasan kepatuhan wajib pajak, serta melakukan evaluasi berkelanjutan atas rancangan paket kebijakan pajak hijau.
Dalam jangka menengah hingga jangka panjang, biaya pemerintah untuk menanggung eksternalitas negatif yang dihasilkan oleh perusahaan penghasil emisi akan terus meningkat. Kerusakan lingkungan akan memberikan dampak negatif bagi masyarakat sekitar, seperti penurunan kualitas hidup masyarakat, kerusakan alam, dan biaya pengobatan atas polusi yang dihasilkan perusahaan.
Dalam penerapannya, pajak hijau akan berkontribusi terhadap pendapatan negara. Adapun atas pendapatan yang diperoleh nantinya bisa dialokasikan secara khusus (earmarking) untuk kegiatan pencegahan dan pemulihan kerusakan lingkungan di masyarakat. Penerapan pajak ini diharapkan mampu meringankan beban APBN serta menciptakan ruang fiskal tambahan bagi pemerintah.
Selain itu, penerapan pajak hijau dapat dikombinasikan dengan berbagai kebijakan pendukung, seperti pemberian insentif bagi perusahaan yang berhasil menurunkan emisi karbon, pengurangan subsidi untuk energi berbahan bakar fosil, serta percepatan transisi menuju penggunaan sumber energi terbarukan.
Dalam jangka panjang, kombinasi kebijakan tersebut tidak hanya berpotensi meningkatkan pendapatan negara, tetapi juga berperan penting dalam melindungi lingkungan melalui pemanfaatan alokasi belanja negara yang lebih efektif dan berkelanjutan.
TIDAK dimungkiri, penerapan paket kebijakan pajak hijau akan menghadapi tantangan yang berat dari stakeholder yang terlibat, yaitu pemerintah, perusahaan terdampak, dan masyarakat. Dari sisi pemerintah, penyusunan paket kebijakan pajak hijau merupakan hal baru sehingga akan ada tantangan tersendiri.
Pemerintah bisa dihadapkan pada kompleksitas dalam perancangan kebijakan yang adil dan efektif. Dalam konteks ini, pemerintah dapat mengambil titik ekuilibrium antara penerimaan dan dampak kenaikan tarif energi yang disebabkan oleh pajak hijau. Selain itu, penyampaian dampak positif pajak hijau yang kurang populer di masyarakat dapat menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah.
Dari sisi perusahaan terdampak, biaya produksi akan meningkat sehingga margin keuntungan yang diperoleh akan makin tipis. Oleh karena itu, instrumen fiskal seperti insentif perlu dirancang agar mampu mendukung perusahaan dalam beradaptasi dengan kebijakan baru ini.
Dari sisi masyarakat, tantangan yang muncul juga signifikan. Pajak hijau diperkirakan akan menyebabkan kenaikan harga energi dan produk yang dihasilkan oleh perusahaan terdampak. Untuk mengantisipasi dampak ini, pemerintah perlu memastikan bahwa manfaat dari penerimaan pajak hijau dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat. Selain itu, pemerintah perlu memastikan transparansi dan pengawasan yang ketat dalam penggunaan penerimaan dari pajak hijau.
Pada akhirnya, pajak hijau memiliki potensi besar untuk meningkatkan ruang fiskal dan menjadi solusi terhadap eksternalitas negatif yang dihasilkan oleh industri. Di tengah tekanan untuk menemukan sumber penerimaan baru yang berkelanjutan, pajak hijau bisa menjadi oase di padang pasir yang menjembatani kebutuhan peningkatan pendapatan negara dan tuntutan lingkungan.
*Tulisan ini merupakan salah satu artikel yang dinyatakan layak tayang dalam lomba menulis DDTCNews 2024, sebagai bagian dari perayaan HUT ke-17 DDTC. Selain berhak memperebutkan total hadiah Rp52 juta, artikel ini juga akan menjadi bagian dari buku yang diterbitkan DDTC pada Oktober 2024.