UNIVERSITAS ISLAM MALANG

Ini Kata Pakar Pajak Soal Perlunya Reformasi PPN

Nora Galuh Candra Asmarani
Kamis, 08 Juli 2021 | 13.49 WIB
Ini Kata Pakar Pajak Soal Perlunya Reformasi PPN

Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji memaparkan materi dalam webinar bertajuk Reformasi PPN: Ditinjau dari Aspek Keadilan, Kamis (8/7/2021).

MALANG, DDTCNews – Reformasi pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi langkah penting untuk menciptakan sistem pajak yang lebih adil.

Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan setidaknya ada 3 aspek pendorong PPN lebih berperan dalam menjamin sistem pajak yang adil. Pertama, kontribusi PPN dalam penerimaan pajak yang makin meningkat. Hal ini membuat perlunya pertimbangan keadilan atas distribusi beban PPN.

Kedua, menjamin pertumbuhan ekonomi yang inklusif. Pemerintah perlu menjamin beban PPN ditopang setiap pihak secara proporsional, terutama agar ketimpangan tidak melebar pascapandemi. Ketiga, kontribusi PPN yang adil antarsektor atau antarkelompok.

“Namun, keadilan dalam konteks pajak tentu tidak terlepas dari perdebatan. Selain itu, keadilan bukan hanya menjadi tugas PPN tetapi juga pajak lain dan belanja negara (fiscal incidence)” ujar Bawono dalam webinar bertajuk Reformasi PPN: Ditinjau dari Aspek Keadilan, Kamis (8/7/2021).

Secara teori, sambungnya, PPN disebut sebagai pajak objektif dan bersifat regresif. Artinya, jika suatu barang dan/atau jasa dikenakan PPN maka baik pihak yang mampu maupun tidak mampu akan membayar PPN dalam jumlah yang sama. Hal ini menimbulkan isu ketidakadilan.

Terkait dengan pengecualian PPN atas barang dan jasa tertentu, Bawono menyebut kebijakan tersebut justru dapat mendistorsi ekonomi. Pasalnya, pengecualian PPN membuat pengusaha kena pajak (PKP) tidak bisa mengkreditkan pajak masukan sehingga berpotensi membebankannya pada harga jual.

Pengecualian PPN juga membuat adanya penerimaan pajak yang hilang serta cenderung ‘menular’ karena pemerintah akan mendapatkan permintaan fasilitas lanjutan. Selain itu, pengecualian PPN, termasuk atas bahan pokok, juga cenderung lebih banyak dinikmati kelompok menengah atas.

Berdasarkan hasil studi, di negara berkembang, kelompok berpenghasilan rendah umumnya berbelanja di sektor informal yang tidak mengenakan PPN. Untuk itu, skenario yang lebih tepat adalah tetap memungut PPN atas kebutuhan pokok tetapi disertai program redistribusi sosial yang lebih baik. Simak ‘Tepatkah Barang Kebutuhan Pokok Dikecualikan Sebagai Objek PPN?’.

Bawono selanjutnya menguraikan argumen-argumen penerapan PPN dengan tarif tunggal, multitarif, serta tren tarif PPN global. Namun, dia menekankan tidak terdapat konsensus khusus dalam mengatur kebijakan tarif yang harus diterapkan. Simak ‘Mau Tahu Konsep dan Studi Komparasi PPN? Baca Buku Ini, Gratis!’.

Dalam kesempatan tersebut, Bawono juga menyebutkan 2 justifikasi perlunya reformasi PPN. Pertama, berdasarkan pada studi, saat krisis, pajak berbasis konsumsi tidak terlalu terdampak dan lebih cepat pulih. Kedua, pajak berbasis konsumsi tidak terlalu mendistorsi pertumbuhan ekonomi. 

“Untuk itu, saat krisis, pajak berbasis konsumsi [termasuk PPN] yang memiliki prospek pulih lebih cepat dapat menjadi pilihan. Terlebih, optimalisasi PPN tidak terlalu mendistorsi pertumbuhan ekonomi,” ujar Bawono.

Sebagai informasi, webinar tersebut diselenggarakan Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Islam Malang (Unisma). Sebelum, webinar, ada penandatanganan MoU antara FEB Unisma dan DDTC. Simak ‘Giliran Unisma yang Teken Kerja Sama Pendidikan dengan DDTC’. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.