JAKARTA, DDTCNews - Founder DDTC Darussalam menegaskan pentingnya kolaborasi antara regulator, akademisi, dan pihak swasta dalam membangun edukasi masyarakat di bidang kepabeanan dan cukai. Hal ini disampaikannya saat membuka rangkaian seminar nasional yang digelar oleh Institut STIAMI, Kamis (18/9/2025).
Di tengah sistem perpajakan Indonesia yang masih dalam ketidakpastian, Darussalam menambahkan, peran dari pihak ketiga seperti perguruan tinggi dan konsultan pajak perlu diperluas. Khususnya, dalam menjembatani hubungan dan kontrak fiskal antara DJBC (pemerintah) dan masyarakat.
"Caranya bisa dilakukan melalui meningkatkan awareness masyarakat, memberikan informasi yang andal dan konstruktif, edukasi, membentuk ahli perpajakan, hingga menjadi mitra kritis pemerintah dalam pemberian alternatif kebijakan," kata Darussalam dalam seminar nasional dengan tema Strategi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam Optimalisasi Penerimaan dari Sektor Kepabeanan dan Cukai.
Menurut Darussalam, sistem perpajakan ideal harus dimulai dari edukasi dan riset. Tanpa kedua hal tersebut, kebijakan dan administrasi di bidang kepabeanan dan cukai akan disusun tanpa melalui perdebatan dan pemikiran yang matang.
"Jadi insyaallah dengan kolaborasi bersama, antara DJBC dengan Institut STIAMI serta DDTC, kita bisa membangun ekosistem kepabeanan dan cukai yang ideal. DDTC bersedia terlibat memberikan edukasi dan riset dalam memberikan sudut pandang lain terkait dengan upaya pencapaian DJBC," kata Darussalam.
Darussalam menambahkan, keberhasilan program pemerintah tidak sekadar ditentukan dari kerja keras pemerintah saja, tetapi juga bagaimana pemerintah merespons masukan dari masyarakat. Karenanya, kolaborasi adalah suatu keharusan.
Dalam kesempatan ini, Darussalam juga mengungkapkan bahwa optimalisasi penerimaan bea cukai merupakan agenda penting bagi pemerintah saat ini. Setidaknya ada tiga alasan yang mendasarinya.
"Pertama, daya dukung sektor kepabeanan dan cukai menuju target tertuang dalam RPJPN 2025-2045," kata Darussalam.
Masuknya target kepabeanan dan cukai ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJPN) 2025-2045 menjadi alasan pertama di balik pentingnya optimalisasi penerimaan bea cukai.
Target tax ratio Indonesia (secara luas, termasuk bea cukai) pada 2045 dipatok sebesar 18%-20%. Angka itu masih jauh dicapai jika dibandingkan dengan capaian saat ini yang baru 10,08%.
Dari kinerja tax ratio tersebut, sektor bea dan cukai berkontribusi cukup penting. Sebagai ilustrasi, pada 2024, bea dan cukai berkontribusi sebesar 13,62% dari total penerimaan perpajakan dan 9,60% dari pendapatan negara.
"Dengan demikian, optimalisasi penerimaan bea dan cukai harus dijaga agar tetap berkesinambungan," imbuh Darussalam.
Kedua, dalam mendukung Visi Indonesia Emas, banyak aspek dalam agenda pembangunan yang membutuhkan koreksi.
Menurut Darussalam, pertumbuhan ekonomi dan agenda menuju pendapatan per kapita yang tinggi memberikan dampak eksternalitas negatif yang sebenarnya bukan menjadi tujuan, misalkan dampak terhadap kesehatan, kerusakan lingkungan, dan perilaku-perilaku yang tidak diharapkan.
"Dalam hal ini, saya melihat market-based instrument melalui koreksi harga bisa dilakukan. Tentu hal ini mensyaratkan kita untuk melihat bagaimana instrumen fiskal seperti cukai dan bea kian relevan di masa mendatang," kata Darussalam.
Ketiga, tantangan dalam menyusun kebijakan sektor kepabeanan dan cukai juga perlu menimbang bagaimana behavioral response masyarakat. Maksudnya, agenda optimalisasi penerimaan cukai hasil tembakau perlu melihat behavioral response dari konsumen, terutama adanya konsumsi ke rokok ilegal.
Selain itu, kebijakan kepabeanan tidak hanya soal penerimaan, tapi juga soal melindungi produsen atau industri dalam negeri sekaligus menjaga inflasi. (sap)