Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Kebijakan pemerintah dengan menaikkan tarif Pajak Barang dan Jasa Tertentu (PBJT) atas jasa hiburan pada diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa dianggap bisa dimaklumi. Ekonom Universitas Airlangga (Unair) Ni Made Sukartini mengungkapkan alasannya.
Menurut Sukartini, pembayaran pajak selalu berdampak pada kebocoran ekonomi. Untuk itu, individu, rumah tangga, dan perusahaan kerap memandang pajak sebagai beban/biaya. Namun, jasa hiburan tertentu bukanlah kebutuhan dasar sehingga tarif progresif pada aktivitas hiburan tersebut masih dapat diterima.
"Konsumsi jasa hiburan, khususnya hiburan diskotik, karaoke, bar, dan lain-lain bukan bagian dari kebutuhan dasar bagi sebagian besar masyarakat Indonesia dan bukan pula aktivitas yang produktif," terang Sukartini, dikutip pada Senin (22/1/2024).
Sukartini menambahkan pajak atas jasa hiburan merupakan salah satu sumber utama pendapatan asli daerah (PAD), khususnya tingkat kabupaten/kota. Untuk itu, kenaikan pajak secara progresif untuk jasa hiburan tertentu ini akan meningkatkan PAD.
"Peningkatan tarif pajak hiburan jenis ini akan berdampak positif bagi penerimaan PAD. Selain itu, kenaikan ini akan berdampak pada pembiayaan pembangunan daerah serta sebagai sarana redistribusi kesejahteraan dari kelompok better off ke kelompok worse off," paparnya.
Ketua Prodi Magister Ekonomi Kesehatan itu menyebut jasa hiburan seperti diskotik, karaoke, bar, merupakan hal yang unik. Sebab, dari sisi permintaan, tidak semua anggota masyarakat mampu mengonsumsi jasa hiburan ini.
Jika pun mampu, sambung Sukartini, masyarakat akan mengkonsumsinya pada waktu-waktu tertentu. Hal ini berarti orang yang menikmati jasa hiburan ini sudah mempertimbangkan konsekuensinya, yaitu harga yang mahal.
Sementara itu, dari sisi penawaran, layanan jasa ini tidak mampu menyerap banyak tenaga kerja. Menurut Sukartini, industri jasa hiburan tertentu membutuhkan tenaga kerja dengan spesifikasi yang lebih berfokus pada penampilan, bukan skills khusus atau investasi pendidikan.
Sukartini menambahkan keberadaan tempat usaha hiburan tersebut seringkali menimbulkan rasa tidak nyaman bagi warga sekitar karena bising. Menurutnya, kenaikan pajak hiburan ini secara normatif lebih dapat diterima guna membatasi laju pertumbuhan jasa hiburan tersebut.
“Apakah kenaikan pajak ini sampai membekukan usaha hiburan di tanah air? Saya rasa tidak. Selama masih ada permintaan dari kelompok-kelompok yang mampu membayar dan menikmati hiburan ini maka peluang tumbuhnya usaha ini tetap ada,” kata Sukartini.
Dosen pengampu mata kuliah Teori Ekonomi Mikro itu mengaku setuju dengan kebijakan tersebut. Menurutnya, jasa hiburan di diskotek, karaoke, dan bar termasuk jasa yang mewah bagi sebagian besar masyarakat Indonesia.
Selain itu, Sukartini menilai jasa tersebut tidak menimbulkan aktivitas ekonomi yang produktif, tidak berkontribusi banyak pada penyerapan angkatan kerja, dan tidak juga menimbulkan nilai tambah bagi mata rantai aktivitas ekonomi di sekitar.
“Misalnya, dalam hal menyerap produksi bahan makanan lokal. Makanan yang ada di tempat hiburan ini sering kali hasil impor, bukan makanan yang hasil produksi masyarakat sekitar tempat hiburan tersebut,” paparnya, seperti dilansir dari siaran pers yang dimuat di laman resmi Unair.
Sukartini menyampaikan pandangannya seiring dengan polemik kenaikan tarif PBJT atas jasa hiburan tertentu. Hal ini berkaitan dengan perubahan ketentuan tarif BPJT atas jasa hiburan dalam UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD).
Aturan itu menyebutkan tarif PBJT atas jasa hiburan paling tinggi sebesar 10%. Namun, tarif paling tinggi 10% itu tidak berlaku bagi PBJT jasa hiburan seperti diskotik, karaoke, kelab malam, bar, dan spa/mandi uap yang justru dipatok minimal 40% sampai dengan 75%. (sap)