BERITA PAJAK HARI INI

Kerek Ranking Kemudahan Bayar Pajak, Ini Langkah Sri Mulyani

Wahyu Budhi Prabowo
Jumat, 03 November 2017 | 09.15 WIB
Kerek Ranking Kemudahan Bayar Pajak, Ini Langkah Sri Mulyani

JAKARTA, DDTCNews – Pagi ini, Jumat (3/11) kabar datang dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. Dia mengatakan, instansinya akan berupaya mengembangkan lebih jauh teknologi dalam sistem perpajakan. Tujuannya, agar peringkat kemudahan membayar pajak (paying taxes) bisa meningkat atau minimal tidak kembali turun.

Bank Dunia baru saja merilis laporan mengenai peringkat kemudahan berusaha (Ease of Doing Business/EoDB). Peringkat Indonesia tercatat naik 19 level ke posisi 72 dunia. Namun, sebanyak tiga dari 10 Indikator perlu dibenahi, di antaranya tentang paying taxes. Peringkat paying taxes Indonesia turun 10 level ke posisi 114 dunia.

Adapun untuk jangka pendek, pihaknya bakal mengevaluasi fasilitas e-filling dan e-payment untuk pelaporan dan pembayaran pajak. "Kami sudah introduce (memperkenalkan) e-filling dan e-payment. Tapi, kami akan evaluasi kinerjanya itu," kata Sri Mulyani di Kementerian Keuangan.

Menurut dia, tarif pajak di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara lain. Selain itu, investor asing kebanyakan tak tahu perihal fasilitas restitusi atau lebih bayar pajak. Sebab, di negara lain, mayoritas pajaknya bersifat final. Namun, jika ingin menyesuaikan tarif dan jenis pajak harus mengubah Undang-Undang.

Berita lainnya mengenai agresifnya produksi industri nasional yang tumbuh 5,5%. Berikut ulasan ringkas beritanya:

  • Tumbuh 5,5%, Produksi Industri Nasional Kian Agresif
    Kinerja industri nasional semakin agresif dengan pertumbuhan produksi yang positif pada kuartal III 2017. Capaian ini perlu terus dijaga oleh semua pihak agar sektor manufaktur ke depannya dapat konsisten menjadi kontributor terbesar bagi perekonomian nasional. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, pertumbuhan produksi industri manufaktur besar dan sedang (IBS) sebesar 5,51% secara tahunan (year on year/yoy) pada kuartal III/2017. Angka ini lebih tinggi dibanding kuartal II/2017 sebesar 3,89% dan periode yang sama tahun lalu sebesar 4,87%. Pertumbuhan produksi IBS tersebut menjadi yang tertinggi sejak kuartal I/2015. Perbaikan kinerja sektor IBS ditopang oleh pertumbuhan industri logam dasar sebesar 11,97% dengan kontribusi terhadap total pertumbuhan produksi sekitar 0,28%. Kemudian, industri makanan dan minuman menyumbangkan pertumbuhan masing-masing 9,24% dan 3,4%. Sumbangsih kedua sektor ini mencapai 27,13% terhadap total pertumbuhan produksi.

  • Gubsu Ingatkan Dirut Inalum Yang Baru Soal Penyelesaian Pajak APU
    Gubenur Sumatera Utara (Gubsu) Tengku Erry Nuradi berharap sengketa terkait pajak Air Permukaan Umum (APU) antara Pemerintah Provinsi Sumatera Utara (Pemprov Sumut) dapat segera terselesaikan. Gubsu didampingi Kepala Badan Pengelola Pajak dan Restribusi Daerah Sarmadan Hasibuan, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Provinsi Sumatera Utara, Irman Dj Oemar, dan Kepala Dinas Lingkungan Hidup Wan Hidayati menyampaikan bahwa pihaknya telah diikat oleh peraturan Perda Sumut  No 1/2011 tentang Pajak Daerah Provinsi Sumut dan Pergub Sumut No24/2011 tentang Tata Cara Perhitungan Nilai Perolehan Air, Harga Air Baku dan Harga Dasar Air Permukaan di Provinsi Sumatera Utara. Seperti diketahui hingga saat ini PT Inalum terus melayangkan gugatan atas kebijakan Pemprov Sumut yang mematok Pajak Air Permukaan berdasarkan tarif industri progresif senilai Rp1.444 per meter kubik terhadap perusahaan tersebut.

  • RI Belum Jadi Surga Investasi
    Harapan dunia usaha agar Indonesia menjadi surga investasi masih jauh panggang dari api. Suara-suara miring perihal banyaknya hambatan investasi masih nyaring terdengar. Salah satunya tentang inkonsistensi pemerintah dalam mengimplementasikan kebijakan ekonomi. Masih banyaknya hambatan investasi diakui secara terus terang oleh Kadin Indonesia. Kadin juga sepakat bahwa inkonsistensi kebijakan merupakan hambatan terbesar yang dihadapi para pelaku bisnis. Para investor akan berpikir seribu kali untuk berinvestasi di Indonesia jika inkonsistensi kebijakan terus terjadi. Sedangkan penduduk miskin per Maret 2017 berjumlah 27,77 juta orang (10,64%). Tugas pemerintah dalam menekan angka kemiskinan dan pengangguran bakal semakin sulit bila dunia usaha terseok-seok. Dalam APBN-P 2017, tingkat kemiskinan dan pengangguran terbuka ditargetkan turun masing-masing menjadi 10,5% dan 5,6%, dengan asumsi pertumbuhan ekonomi 5,2%. Dalam APBN 2018, angka kemiskinan dan pengangguran diproyeksikan turun lagi ke level 9,5-10% dan 5-5,3%, dengan asumsi ekonomi tumbuh 5,4%. Masih banyaknya keluhan yang disuarakan kalangan pengusaha membuat kita tertegun. Bank Dunia baru saja menaikkan peringkat kemudahan berbisnis (Ease of Doing Business/EoDB) Indonesia tahun depan, dari posisi 91 ke posisi 72 di antara 190 negara atau melonjak 19 peringkat dibanding tahun ini.

  • Kadin: Silakan bukper penerbit faktur fiktif
    Belakangan dunia usaha mengeluhkan upaya Ditjen Pajak menggencarkan law enforcement atau penegakan hukum. Pasalnya, penegakan hukum yang dianggap keluar dari koridor, yakni melakukan bukti permulaan (bukper) perusahaan secara tidak terarah. Wakil Ketua Komite Tetap Bidang Perpajakan Kadin Indonesia Herman Juwono mengatakan, di antara perusahaan yang dibukper itu ada yang benar wajib pajak (WP) nakal dan yang bukan WP nakal. Namun sayangnya, Ditjen Pajak memukul rata WP-WP tersebut. Herman mengatakan, kegiatan bukper yang sebelumnya meresahkan ini kini sudah berkurang, yakni setelah Direktur Penegakan Hukum Direktorat Jenderal Pajak Dadang Suwarna mundur. Menurut Herman, ada beberapa bukper yang dibatalkan. “Sekali bukper keluar harus diselesaikan, tetapi kalau tidak valid, ya bisa dibatalkan,” katanya. Sumber KONTAN menyebut, setidaknya ada lima bukper yang dibatalkan oleh Ditjen Pajak karena proses pemeriksaannya sudah selesai. Sementara sisanya dipilah lagi oleh fiskus atau administrator pajak.

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.