LOMBA MENULIS ARTIKEL PAJAK 2018

Kebijakan Pajak Capres 2019, Siapa Lebih Unggul?

Redaksi DDTCNews
Kamis, 10 Januari 2019 | 16.07 WIB
ddtc-loaderKebijakan Pajak Capres 2019, Siapa Lebih Unggul?

Sony Budiarso,

S1 Akuntansi Universitas Gadjah Mada.

PEMILIHAN presiden sudah tepat di depan mata, rakyat Indonesia dihadapkan pada dua pasangan calon pemimpin negeri. Kedua capres telah saling beradu argumen, dan mengusung kebijakan untuk menarik hati rakyat.

Dari banyaknya kebijakan, yang sering disorot adalah kebijakan ekonomi, khususnya sektor Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN). APBN adalah instrumen yang penting karena membiayai dan mendukung keberlangsungan semua kebijakan yang telah direncanakan oleh pemerintah.

Lantas bagaimana rancangan kebijakan kedua paslon untuk mengoptimalkan penerimaan APBN khususnya dari sektor pajak? Kebijakan mana yang akan lebih unggul dari sisi jumlah penerimaan pajak yang akan diterima pemerintah?

Dari informasi yang diperoleh, kubu petahana Jokowi-Ma’ruf berusaha kembali mengusung program pemberdayaan “wong cilik”, dengan melakukan keberlanjutan reformasi perpajakan melalui peningkatan produktivitas rakyat yang berdaya saing.

Pemerintahan Jokowi saat ini telah mengurangi pajak untuk UMKM yang pada awalnya sebesar 1% menjadi 0,5% dari total omzet, harapannya untuk membuat rakyat semakin produktif untuk berwirausaha, dan mewujudkan kemandirian perekonomian nasional.

Paslon nomor 1 Jokowi-Ma’ruf ingin mengoptimalkan penerimaan APBN dengan meningkatkan PNBP (SDA migas dan SDA non-migas) sehingga penerimaan dari sektor pajak diperkirakan tidak akan dijadikan sebagai target seperti kebijakan-kebijakan saat Jokowi menjabat sebelumnya (2014-2019).

Sektor SDA migas dan non-migas yang saat ini diketahui hanya berkisar Rp349,2 trilliun atau 18,03% dari total penerimaan APBN 2018 yaitu sekitar Rp1.936 trilliun. Walaupun begitu, penerimaan APBN yang diterima pemerintah akan terus bertambah secara progresif meskipun penerimaan dari sektor pajak tidak bertambah secara signifikan.

Itu terjadi karena adanya kebijakan untuk fokus pada peningkatan PNBP. Dengan pertimbangan jumlah PNBP yang diterima pemerintah masih tergolong kecil dan tentunya memiliki potensi untuk dioptimalkan kembali mengingat potensi SDA yang dimiliki Indonesia cukup besar, baik SDA sektor migas yang tidak dapat diperbaharui, maupun SDA non-migas yang dapat diperbaharui.

Sedangkan Prabowo-Sandiaga berencana mengusung kebijakan perpajakan yang memberi stimulus fiskal pada perekonomian masyarakat, yaitu dengan cara meningkatkan penerimaan pajak dari peningkatan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP).

Dengan meningkatnya PTKP, Prabowo-Sandi ingin meningkatkan daya beli masyarakat dan harapannya juga dapat menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh pasal 21). Kubu ini juga akan membuat kebijakan penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk meringankan kehidupan masyarakat. Selain itu, reformasi birokrasi perpajakan juga akan dicanangkan agar lebih merangsang gairah wirausaha dan meningkatkan daya saing terhadap negara-negara tetangga.

Sementara itu, paslon nomor 2 Prabowo-Sandiaga mencanangkan optimalisasi pajak melalui peningkatan batas dari PTKP, sebesar 2 atau 3 kali lipat dari Upah Minimum Provinsi DKI.

Meski terlihat menguntungkan untuk sebagian masyarakat Indonesia, justru hal ini diperkirakan akan menurunkan penerimaan pajak, karena seperti yang diketahui bahwa yang wajib membayar pajak adalah orang yang berpenghasilan di atas batas PTKP. Semakin meningkatnya batas PTKP, orang yang membayar pajak akan menurun, begitu juga dengan penerimaan PPh. Tekecuali diimbangi dengan peningkatan gaji yang sebanding dengan peningkatan batas PTKP.

Kebijakan Prabowo-Sandiaga yang lain adalah menurunkan PPh pasal 21 dan menghapus PBB. Tujuan dari kubu Prabowo-Sandiaga membuat kebijakan ini adalah untuk lebih meringankan kehidupan masyarakat dan membuat rakyat menjadi tidak terbebani dengan pajak sehingga dapat menarik minat masyarakat untuk membayarkan pajaknya kepada negara.

Tingkat kesadaran masyarakat untuk membayar pajak masih minim. Ekonom dari Badan Pemenangan Nasional Prabowo-Sandiaga, Drajad Wibowo mengatakan bahwa penurunan tarif pajak dapat meningkatkan tingkat efektivitas penerimaan pajak.

Akan tetapi, banyak ekonom sepakat bahwa kebijakan tersebut justru akan menurunkan angka penerimaan pajak, karena penerimaan pajak dari PPh cukup berpengaruh terhadap total penerimaan pajak. Pada tahun 2017 saja, pemerintah menerima Rp55,6 trilliun dari PPh, sehingga instrumen ini dianggap penting dan apabila dihilangkan dapat berisiko menurunkan penerimaan pajak apabila tidak diimbangi dengan peningkatan kepatuhan pajak.*

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.