Marcus Tullius Cicero, seorang filsuf asal romawi pernah mengatakan pajak adalah urat nadi sebuah negara. Dalam sejarah, pajak sudah ada dari zaman Mesir Kuno yang dikenal dengan sebutan upeti. Pajak digunakan untuk membiayai pemerintahan dalam membangun sebuah negara. Dengan demikian, dapat dikatakan mustahil untuk menjalankan negara tanpa pajak.
Di Indonesia sendiri, penerimaan pajak menyumbang lebih dari 70% terhadap seluruh penerimaan negara dalam APBN. Begitu pentingnya peran pajak membuat segala kebijakan yang terkait dengannya harus menjadi salah satu pertimbangan utama dalam pemilihan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) Indonesia untuk periode 2019-2024.
Kebijakan pajak yang dipaparkan oleh pasangan Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi memiliki karakter masing-masing. Bagi yang pernah menonton film Robin Hood produksi Appian Way Productions dan Safehouse Pictures garapan sutradara Otto Bathurst, berdasarkan tawaran kebijakan perpajakannya, Jokowi-Ma’ruf dan Prabowo-Sandi dapat digambarkan seperti sifat dari tokoh Yahya Ibn Umar dan Robin.
Dalam film yang tayang perdana di Indonesia pada 20 November 2018 ini, pemungutan pajak digambarkan sangat sadis, semena-mena, ditujukan untuk kepentingan penguasa, dan sangat membuat rakyat menderita. Yahya Ibn Umar – yang kemudian dipanggil John – dan Robin merupakan tokoh yang ingin mengehentikan sistem pajak yang salah. Mereka ingin mengeluarkan masyarakat dari penderitaan.
John bertindak sebagai penyusun rencana yang andal. Dia tidak bertindak dengan gegabah dan selalu terencana. John mempersiapkan setiap rencana secara matang. Selanjutnya, rencana tersebut dieksekusi oleh Robin sebagai Robin Hood. Robin bertindak dengan sangat agresif dan berani.
Sifat penuh pertimbangan yang matang dan bertindak tetap sesuai rencana (on track) dari tokoh John tercermin dalam rencana kebijakan pajak Jokowi-Ma’ruf, seperti pertama, melanjutkan reformasi perpajakan yang berkelanjutan untuk mewujudkan keadilan dan kemandirian ekonomi nasional, dengan target terukur, serta memperhatikan iklim usaha. Kedua, memberikan insentif pajak bagi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
Reformasi Perpajakan
Sudah dapat terlihat, kubu Jokowi-Ma’ruf akan tetap melanjutkan kebijakan reformasi struktural fiskal dan perpajakan yang telah dijalankan dalam pemerintahan Jokowi sebelumnya. Reformasi perpajakan yang telah dilakukan pemerintahan Jokowi sepanjang 2014 hingga sekarang telah mencakup berbagai aspek di bidang perpajakan.
Salah satu perbaikan yang terlihat adalah sistem administrasi perpajakan yang mencakup penyempurnaan struktur organisasi dan penambahan jumlah kantor pelayanan serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM yang terukur. Selain itu, ada pula perbaikan peraturan perundang-undangan serta penyederhanakan proses bisnis, termasuk penggunaan teknologi.
Perbaikan juga dilakukan dalam sistem informasi dan database wajib pajak. Upaya percepatan reformasi perpajakan ini dimuat dalam Peraturan Presiden Nomor 40/ 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan yang telah ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.
Selain itu, kebijakan yang diambil oleh Jokowi selama memimpin adalah pemberian berbagai insentif perpajakan seperti tax holiday bagi wajib pajak badan yang melakukan penanaman modal baru pada industri pionir, penurunan tarif pajak penghasilan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dari 5% menjadi 2,5%, penurunan tarif revaluasi aktiva tetap dari 10% menjadi 3%, serta penurunan tarif pajak penghasilan UMKM dari 1% menjadi 0,5%.
Penghapusan sanksi perpajakan juga beberapa kali diberikan dalam pemerintahan Jokowi. Melalui Peraturan Menteri Keuangan No. 91/2015, pemerintah memberikan penghapusan sanksi administrasi. Selain itu, melalui Undang-Undang (UU) No. 11/2016, pemerintah memberikan pengampunan pajak (tax amnesty). Pengungkapan harta dalam program tax amnesty di Indonesia mencapai Rp4.884,2 triliun, tertinggi di dunia.
Kemudahan-kemudahan dalam bidang perpajakan lainnya yang juga diberikan selama masa kepeminpinan Jokowi mulai dari percepatan restitusi (Peraturan Menteri Keuangan 39/2018) hingga peningkatan kualitas pelayanan pajak secara online dan real time.
Semua perbaikan, kemudahan, dan insentif pajak yang telah dihadirkan ini diharapkan mampu meningkatkan jumlah wajib pajak terdaftar dan memperluas objek pajak. Hal ini selanjutnya berpotensi meningkatkan jumlah basis pembayar pajak, meningkatkan kepatuhan (compliance) dari wajib pajak, dan mendorong tercapainya konsep pembangunan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable economic development). Dengan demikian, kebijakan ini dapat menjadi win-win solution bagi wajib pajak maupun pemerintah.
Berbagai kemudahan dan insentif itu diimbangi dengan disahkannya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) No.1/2017 tentang Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan menjadi UU. Dengan demikian, automatic exchange of information (AEoI) dapat dijalankan untuk menutup celah penghindaran pajak (tax avoidance) bagi wajib pajak dan menegakkan hukum pajak (law enforcement).
Selain itu, ada pula Nota Kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) dan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) terkait dengan peningkatan kesadaran pajak melalui kurikulum di sekolah dasar hingga perguruan tinggi.
Jika pasangan Jokowi-Ma’ruf memutuskan untuk melanjutkan program reformasi yang telah dirintis sebelumnya maka sudah pantas mereka merasa percaya diri. Ini dikarenakan hingga saat ini, berbagai kebijakan memang terus diupayakan berjalan optimal. Tawaran kelanjutan reformasi menunjukan konsistensi dan komitmen kubu petahana. Kebijakan perpajakan Jokowi terlihat berada di jalur yang tepat, sesuai rencana dan pertimbangan matang.
Namun, konsistensi yang ditunjukan pasangan Jokowi-Ma’ruf dalam kebijakan perpajakannya tidak semata-mata akan membuahkan hasil. Masih terdapat upaya-upaya reformasi perpajakan yang belum selesai sampai sekarang, seperti revisi paket UU terkait perpajakan, seperti UU Ketentuan Umum Perpajakan (KUP). Tantangan visi misi Jokowi-Ma’ruf selanjutnya adalah bagaimana memastikan program reformasi perpajakan yang telah direncanakan bisa terlaksana dengan baik.
Agresif
Sementara itu, pasangan Prabowo Subiato dan Sandiaga Uno menjanjikan beberapa kebijakan terkait perpajakan yang sangat agresif dan berani, seperti sifat tokoh Robin dalam film Robin Hood. Kebijakan tersebut mencakup pertama, menaikkan batas Pendapatan Tidak Kena Pajak (PTKP) dan menurunkan tarif PPh Pasal 21 Orang Pribadi.
Selama ini penetapan PTKP dilakukan dengan memperhitungkan besaran penghasilan yang diperoleh oleh masyarakat. PTKP yang berlaku saat ini adalah Rp4,5 juta per bulan dan upah minimum provinsi (UMP) tertinggi yaitu DKI Jakarta adalah Rp3,6 juta per bulan. Dengan demikian, dengan PTKP yang berlaku sekarang, masyarakat dengan penghasilan di bawah Rp4,5 juta per bulan sudah tidak dikenakan pajak.
Bila PTKP ditetapkan terlalu tinggi maka akan ada risiko penurunan penerimaan pajak pada daerah-daerah yang memiliki UMP rendah seperti Yogyakarta. Oleh karena itu, untuk menaikan kembali PTKP, tim Prabowo-Sandi harus mempertimbangkan besaran PTKP dibandingkan dengan pendapatan per kapita penduduk Indonesia.
Selanjutnya, rencana kebijakan untuk menurunkan tarif PPh Pasal 21 Orang Pribadi akan menurunkan tarif progresif seluruh lapisan dalam pasal 17 UU PPh. Bila tujuan dari pasangan Prabowo-Sandi untuk memberikan keringanan pajak kepada kaum buruh atau karyawan ekonomi menengah, kebijakan tersebut kurang tepat untuk dilaksanakan. Ini dikarenakan beban pajak yang akan turun untuk semua lapisan masyarakat, termasuk orang pribadi super kaya.
Kedua, menghapus pajak Bumi dan Bangunan (PBB) bagi rumah tinggal utama dan pertama. Dalam sejarah bangsa Indonesia, PBB merupakan pajak yang paling tua. Pada masa kerajaan, rakyat sudah dibebani dengan upeti dalam bentuk natura dengan objek pemungutan pajak berupa harta (tanah pertanian). Hal ini menjadi salah satu faktor tingginya kesadaran dan kepatuhan masyarakat terhadap PBB.
Walaupun telah terdapat Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) dan penyesuaian Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) sesuai wilayah letak objek pajak, PBB memang menjadi beban bagi masyarakat. Beban itu dirasakan karena PBB merupakan pajak langsung yang pengenaannya tanpa melihat besaran penghasilan yang diterima masyarakat.
Namun, perlu juga dipertimbangkan bahwa PBB merupakan pajak yang menyumbang besar pada pendapatan asli daerah (PAD), yang digunakan oleh Pemerintah Daerah untuk kembali membangun daerah tersebut. Bila PBB yang kepatuhan pembayarannya oleh masyarakat sudah tinggi ini dihapuskan maka perlu dipikirkan alternatif lain untuk menambal pendapatan pajak daerah yang hilang.
Ketiga, menurunkan tarif pajak hingga sama dengan Singapura. Tarif pajak Singapura merupakan tarif pajak terendah di Asean, sebesar 17%. Bila dilihat kebutuhan Indonesia dan Singapura jauh berbeda. Indonesia harus mengurusi kebutuhan masyarakat dari Sabang hingga Merauke yang jumlahnya tentu jauh berbeda dari Singapura.
Dengan tax ratio Indonesia masih rendah dan jumlah masyarakat yang memiliki NPWP tidak sebanding dengan jumlah masyarakat yang memiliki penghasilan, keputusan untuk menurunkan tarif pajak sama dengan Singapura dapat menyebabkan pendapatan pajak terjun bebas. Kebijakan untuk menurunkan tarif sebaiknya dibarengi dengan perluasan basis pajak agar penerimaan pajak tetap stabil. Namun, dilihat dari kondisi Indonesia saat ini, tetap saja, menurunkan tarif pajak sama dengan Singapura adalah hal yang ekstrem.
Keempat, menghapus Pajak Kendaraan Bermotor (PKB). PKB merupakan salah satu pajak yang menggunakan konsep earmarking, yaitu peruntukan atau pengeluarannya sudah ditentukan secara spesifik. Dalam UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) disebutkan hasil penerimaan PKB paling sedikit 10%, termasuk yang dibagihasilkan kepada kabupaten/kota, dialokasikan untuk pembangunan dan/atau pemeliharaan jalan serta peningkatan moda dan sarana transportasi umum.
Selain itu, penerapan PKB juga bertujuan untuk mengendalikan eksternalitas negatif yang disebabkan oleh penggunaan kendaraan bermotor, yaitu polusi. Oleh karena itu, rencana kebijakan untuk menghapuskan PKB perlu dikaji lebih dalam, terutama terkait dengan dampak yang muncul terhadap pembangunan jalan, polusi, dan kemacetan.
Kelima, menghapus secara drastis birokrasi yang menghambat dan melakukan reformasi perpajakan agar meningkatkan daya saing terhadap negara-negara tetangga. Kemudahan dalam administrasi perpajakan sudah seharusnya menjadi visi dan misi pasangan manapun yang akan terpilih sebagai pemimpin Indonesia. Saat ini pun, instansi perpajakan sedang terus berupaya untuk menyederhanakan administrasi perpajakan.
Dengan demikian, dapat dilihat, pasangan Prabowo-Sandi memang sangat agresif dan berani dalam menentukan rencana kebijakan pajak. Namun, visi-misi tersebut belum dipaparkan secara rinci dan komprehensif. Perlu dasar dan pertimbangan yang matang untuk menentukan arah kebijakan publik, terutama terkait dengan perpajakan yang merupakan unsur vital dalam suatu negara.
Jangan sampai, calon pemimpin hanya memaparkan kebijakan sebagai cara untuk menarik simpati publik. Visi-misi harus membumi, tidak hanya menjual mimpi dan ilusi. Menjadi tokoh yang pemberani memang baik, tapi nasib bangsa tidak seperti becanda layaknya adegan dalam film.*