PEMERIKSAAN PAJAK

Ini 5 Indikator Ketidakpatuhan WP yang Bakal Diperiksa DJP

Awwaliatul Mukarromah
Kamis, 30 Agustus 2018 | 18.04 WIB
Ini 5 Indikator Ketidakpatuhan WP yang Bakal Diperiksa DJP

JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak merilis Surat Edaran (SE) No. SE-15/PJ/2018 tentang Kebijakan Pemeriksaan. Aturan ini menjadi penyempurnaan aturan teknis pemeriksaan sebelumnya yang diatur dalam SE-06/PJ/2016 tentang Kebijakan Pemeriksaan dan SE-25/PJ/2015 tentang Kebijakan Pemeriksaan dan Penelitian PBB.

Dilansir dari SE-15/PJ/2018, selain memberikan keseragaman langkah dalam pelaksanaan kegiatan pemeriksaan, aturan ini juga ditujukan untuk meningkatkan kualitas pemilihan wajib pajak yang akan diperiksa melalui Daftar Sasaran Prioritas Penggalian Potensi (DSP3).

“DSP3 adalah daftar wajib pajak yang menjadi sasaran prioritas penggalian potensi sepanjang tahun berjalan baik melalui kegiatan pengawasan maupun pemeriksaan,” demikian bunyi SE-15/PJ/2018 yang ditetapkan Dirjen Pajak Robert Pakpahan pada 13 Agustus 2018.

Dalam SE ini diatur, setiap kantor pajak menyusun daftar wajib pajak yang pengawasannya akan diintensifkan. Selain pengawasan yang dilakukan oleh petugas Account Representative (AR) dan kepala seksi pengawasan dan konsultasi, juga terhadap wajib pajak tersebut dapat diusulkan untuk dilakukan pengujian kepatuhan pajak secara menyeluruh melalui pemeriksaan oleh pejabat fungsional pemeriksa pajak.

Selain itu, SE-15/PJ/2018 ini menetapkan 5 indikator yang dapat digunakan oleh unit kerja Ditjen Pajak untuk menyusun DSP3 yaitu: 1) indikasi ketidakpatuhan tinggi (adanya tax gap), 2) indikasi modus ketidakpatuhan wajib pajak, 3) identifikasi nilai potensi pajak, 4) identifikasi kemampuan wajib pajak untuk membayar ketetapan pajak (collectability), dan 5) pertimbangan Dirjen Pajak.

Indikasi Ketidakpatuhan Tinggi

Ketidakpatuhan wajib pajak dapat dibagi menjadi dua besar yaitu ketidakpatuhan formal dan ketidakpatuhan material. Ketidakpatuhan formal terkait dengan pelaporan, yaitu lapor  surat pemberitahuan (SPT) tetapi tidak tepat waktu, atau bahkan tidak lapor SPT. Wajib pajak yang tidak lapor SPT dapat dikenai sanksi administrasi dalam bentuk STP oleh kantor pajak. Sedangkan ketidakpatuhan material adalah ketidakpatuhan isi SPT. Artinya, wajib pajak lapor SPT tetapi tidak tepat jumlah (kurang bayar) atau tidak lapor tetapi diindikasikan ada potensi pajak yang harus dibayar tetapi tidak dibayar dan tidak dilaporkan.

Bahasa yang digunakan oleh SE-15/PJ/2018 untuk indikasi ketidakpatuhan material, yaitu adanya kesenjangan (gap) antara profil perpajakan (profil berdasarkan SPT) dengan profil ekonomi yang sebenarnya. Baik sistem informasi Ditjen Pajak maupun petugas pajak akan membandingkan SPT yang disampaikan dengan keadaan sebenarnya berdasarkan informasi lain, seperti : SPT lawan transaksi, rekening koran, dan hasil pengamatan oleh petugas.

Indikasi ketidakpatuhan wajib pajak dibedakan antara wajib pajak yang dilakukan pemeriksaan oleh 35 Unit Pelaksana Pemeriksaan (UP2) Penentu Penerimaan dengan wajib pajak yang terdaftar pada KPP Pratama. SE-15/PJ/2018 menyebutkan 35 UP2 Penentu Penerimaan adalah Direktorat Pemeriksaan dan Penagihan, Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, Kanwil DJP Jakarta Khusus, KPP di lingkungan Kanwil DJP Wajib Pajak Besar, KPP di lingkungan Kanwil DJP Jakarta Khusus, dan KPP Madya. 

Indikator ketidakpatuhan wajib pajak pada 35 UP2 Penentu Penerimaan antara lain:

  1. Analisis Corporate Tax to Turn Over Ratio (CTTOR), Gross Profit Margin(GPM), dan/atau Net Profit Margin (NPM) dibandingkan dengan benchmarking industri sejenis, seperti berdasarkan laporan industri (industrial report) atau hasil benchmarking sesuai dengan ketetuan yang mengatur mengenai benchmarking. Risiko ketidakpatuhan dianggap tinggi jika selesih dengan bencmarking diatas 10%.
  2. Memiliki transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, terutama dengan pihak afiliasi yang berkedudukan di negara yang memiliki tarif pajak efektif yang lebih rendah dari tarif pajak efektif di Indonesia.
  3. Memiliki transaksi afiliasi dalam negeri (intra-group transaction) dengan nilai transaksi lebih dari 50% dari total nilai transaksi.
  4. Memiliki transaksi afiliasi dalam negeri dengan anggota grup usaha yang memiliki kompensasi kerugian.
  5. Wajib pajak belum pernah dilakukan pemeriksaan dengan ruang lingkup seluruh jenis pajak (all taxes) dalam 3 (tiga) tahun terakhir.
  6. Wajib pajak yang menerbitkan Faktur Pajak kepada pembeli dengan NPWP 000 lebih dari 25% dari total Faktur Pajak yang diterbitkan dalam satu Masa Pajak.
  7. Terdapat hasil analisis Informasi, Data, Laporan, dan Pengaduan (IDLP) dan/atau Center for Tax Analysis (CTA).

CTA merupakan unit khusus di Ditjen Pajak. Unit khusus ini diisi oleh petugas pajak yang memiliki kualifikasi tinggi dan memiliki spesialisasi. Hasil dari CTA dituangkan dalam laporan yang disebut LHA (Laporan Hasil Analisis). LHA dari CTA dikirim langsung ke KPP terdaftar untuk dilakukan pengawasan lebih lanjut. Biasanya LHA sudah menyebut potensi pajak yang harus dibayar.

Lebih lanjut, SE-15/PJ/2018 membedakan indikator ketidakpatuhan wajib pajak pada KPP Pratama menjadi dua yaitu, indikator ketidakpatuhan wajib pajak badan dan indikator ketidakpatuhan wajib pajak orang pribadi. Indikator ketidakpatuhan wajib pajak badan pada KPP Pratama antara lain:

  1. Ketidakpatuhan pembayaran dan penyampaian SPT;
  2. Wajib pajak belum pernah dilakukan pemeriksaan dengan ruang lingkup seluruh jenis pajak (all taxes) selama 3 tahun terakhir;
  3. Analisis CTTOR, GPM, NPM dibandingkan dengan hasil benchmarkingindustri sejenis di Kanwil terkait sesuai dengan ketentuan yang mengatur mengenai benchmarking. Risiko ketidakpatuhan tinggi apabila selisih antara analisis tersebut dengan rata-rata industri lebih besar dari 20%;
  4. Ketidaksesuaian antara profil SPT dengan profil ekonomi (usaha dan kekayaan) sesungguhnya berdasarkan fakta lapangan;
  5. Memiliki transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, terutama dengan pihak afiliasi yang berkedudukan di negara yang memiliki tarif pajak efektif yang lebih rendah dari tarif pajak efektif di Indonesia;
  6. Memiliki transaksi afiliasi dalam negeri (intra-group transaction) dengan nilai transaksi lebih dari 50% dari total nilai transaksi;
  7. Memiliki transaksi afiliasi dalam negeri dengan anggota grup usaha yang memiliki kompensasi kerugian;
  8. Wajib pajak yang menerbitkan Faktur Pajak kepada pembeli dengan NPWP 000 lebih dari 25% dari total Faktur Pajak yang diterbitkan dalam satu Masa Pajak; dan/atau
  9. Terdapat hasil analisis IDLP dan/atau CTA.

Adapun, indikator ketidakpatuhan wajib pajak orang pribadi pada KPP Pratama antara lain:

  1. Ketidakpatuhan pembayaran dan penyampaian SPT;
  2. Wajib pajak belum pernah dilakukan pemeriksaan dengan ruang lingkup seluruh jenis pajak (all taxes) selama 3 tahun terakhir;
  3. Ketidaksesuaian antara profil SPT dengan: skala usaha wajib pajak; harta wajib pajak (investasi, kepemilikan saham, dll); gaya hidup wajib pajak; profil pinjaman wajib pajak;
  4. Terdapat hasil analisis IDLP dan CTA.

Indikator terkait skala usaha dapat diketahui dari hasil pengamatan atau kunjungan ke tempat usaha seperti : toko, pabrik, dan gudang. Toko yang selalu ramai, lokasi toko, dan klasifikasi toko (hanya eceran atau distributor atau agen) dibandingkan dengan pembayaran pajaknya selama sekian tahun. Petugas akan menilai kewajaran pembayaran pajak dibandingkan dengan kenyataan sebenarnya.

Harta wajibpPajak dapat diperoleh dari laporan SPT Tahunan orang pribadi, harta amnesti pajak, dan informasi di media massa baik cetak maupun online. Orang kaya yang suka memamerkan kekayaannya di media sosial seringkali menjadi viral di media grup internal pegawai pajak.

Sedangkan profil pinjaman wajib pajak maksudnya adalah  pinjaman dari bank. Ditjen Pajak sudah memiliki data  sistem informasi debitur (SID) yang setiap periode dikirim oleh Bank Indonesia (BI). Informasi SID dikirim berdasarkan MoU dan Peraturan Menteri Keuangan tentang pertukaran informasi antara BI dengan Ditjen Pajak.

Indikasi Modus Ketidakpatuhan Wajib Pajak

Dalam indikator ini, kantor pajak melakukan identifikasi atas wajib pajak yang terindikasi memiliki modus-modus tertentu atas ketidakpatuhannya. Identifikasi modus ketidakpatuhan dimaksudkan untuk membantu pemeriksa pajak dalam menentukan ruang lingkup (scope) dan kedalaman pemeriksaan, sehingga memudahkan dalam membuat dan menetapkan Audit PlanAudit Program, dan dokumen-dokumen yang akan dipinjam dan diperiksa. Modus ketidakpatuhan wajib pajak antara lain:

  1. Wajib pajak tidak melaporkan omset yang sebenarnya.
  2. Wajib pajak membebankan biaya yang tidak seharusnya.
  3. Modus ketidakpatuhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
  4. Wajib pajak yang melakukan perencanaan pajak agresif (aggressive tax planning).
  5. Penyalahgunaan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (treaty abuse).
  6. Wajib pajak tidak melaporkan nilai pengalihan harta yang sebenarnya dalam rangka likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, dan pengambilalihan usaha.
  7. Wajib pajak tidak melaporkan nilai perolehan atau nilai penjualan yang sebenarnya dalam hal terjadi tukar-menukar harta.

Identifikasi Nilai Potensi Pajak

Wajib pajak yang menjadi prioritas adalah yang memiliki potensi pajak besar. Nilai potensi tersebut harus dihitung dalam rupiah sesuai dengan indikator ketidakpatuhan wajib pajak dengan cara mengalikan tarif pajak dengan potensi tax gap. Selain nilai potensi tax gap, nilai potensi pajak dapat pula diisi dengan:

  1. nilai pengembalian pendahuluan yang telah diberikan kepada wajib pajak dalam hal pemeriksaan dilakukan kepada wajib pajak yang telah diberikan pengembalian pendahuluan kelebihan pembayaran pajak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17C dan Pasal 17D Undang-Undang KUP dan Pasal 9 ayat (4) huruf c Undang-Undang PPN,
  2. nilai kompensasi kerugian untuk wajib pajak yang menyampaikan SPT Rugi,
  3. selisih hasil penilaian kembali aktiva tetap untuk wajib pajak yang melakukan penilaian kembali aktiva tetap, atau
  4. nilai potensi lainnya sesuai hasil analisis yang telah dilakukan terhadap wajib pajak tersebut.

Dalam hal wajib pajak yang telah menerima pengembalian pendahuluan, tidak berarti tidak akan dilakukan pemeriksaan. Pengembalian pendahuluan dilakukan dengan cara penelitian, sehingga belum dilakukan pemeriksaan. Adapun, kompensasi kerugian yang besar seperti “tabungan” bagi wajib pajak saat wajib pajak tersebut secara fiskal sudah menguntungkan. Supaya tabungan tersebut dapat dimanfaatkan, maka sebelum 5 tahun, kompensasi yang memiliki nilai besar (signifikan) akan dilakukan pemeriksaan.

Identifikasi Kemampuan Wajib Pajak untuk Membayar Ketetapan Pajak (Collectability)

Identifikasi Kemampuan wajib pajak untuk membayar ketetapan pajak (collectability) dilakukan dengan cara melakukan identifikasi kemampuan wajib pajak untuk membayar ketetapan pajak dalam rangka optimalisasi pencairan dari hasil pemeriksaan. Identifikasi yang dapat dilakukan diantaranya adalah:

  1. Identifikasi keberlangsungan usaha dan harta yang dimiliki wajib pajak berdasarkan SPT;
  2. Eksistensi usaha wajib pajak (berdasarkan fakta lapangan); dan/atau
  3. Penanggung pajak diketahui keberadaannya.

Pertimbangan Dirjen Pajak

Terakhir, berdasarkan pertimbangan tertentu sesuai dengan kewenangannya, Dirjen Pajak dapat menetapkan wajib pajak yang akan menjadi DSP3. Penjelasan lebih lengkap mengenai kebijakan pemeriksaan ini dapat dibaca di sini. (Amu)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.