KEADILAN PAJAK

Filosofi Keadilan dalam Kebijakan Pajak

Awwaliatul Mukarromah | Jumat, 22 Maret 2019 | 18:46 WIB
Filosofi Keadilan dalam Kebijakan Pajak

DALAM ekonomi kapitalis, pajak lebih dari sekadar metode pembayaran kepada pemerintah dan pembiayaan atas pelayanan publik. Karena pada prinsipnya, pajak dapat menjadi senjata politik yang penting dalam menerapkan konsep keadilan ekonomi.

Kendati demikian, masih sedikit pakar yang berbicara aspek filosofis keadilan dalam debat-debat besar mengenai kebijakan pajak. Padahal kebijakan pajak merupakan output yang krusial dari perpolitikan nasional suatu negara dan bagian dari lingkaran kebijakan publik.

Pada masa pemerintahaan Presiden Amerika Serikat (AS) George W. Bush (2001-2009), pemotongan pajak (tax cut) menjadi salah satu agenda politiknya, hal yang juga dilakukan oleh Presiden Donal Trump belakangan ini. Pada saat itu, Bush menyatakan penghasilan masyarakat adalah milik mereka sendiri bukan pemerintah.

Baca Juga:
Ketentuan Kewajiban Menyelenggarakan Pembukuan di Bidang Cukai

Liam Murphy dan Thomas Nagel, professor hukum dan filosofi di New York University, melalui bukunya yang berjudul ‘The Myth of Ownership: Taxes and Justice’ (2002) menanggapi pernyataan tersebut. Keduanya mengatakan bahwa retorika Bush merupakan lambang dari perdebatan pajak yang berfokus pada masalah yang salah karena tidak memiliki landasan moralitas.

Mereka menyatakan filosofi ‘libertarianisme’ menginfeksi politik Amerika dengan fantasi yang kuat dan meyakinkan bahwa kita memperoleh penghasilan dan pemerintah mengambil sebagian darinya. Mitos populer ini menghasilkan ‘pertentangan’ yang meluas terhadap pajak dan keuntungan politik bagi mereka yang berkampanye melawan pendapat mereka dan menyerang IRS (otoritas pajak AS).

Dalam buku yang diterbitkan Oxford University Press ini, Murphy dan Nagel berpendapat warga negara tidak memiliki apapun kecuali telah ditetapkan melalui undang-undang yang diberlakukan oleh negara. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang. Dengan demikian, pendapatan setelah pajaklah yang berhak dimiliki seorang warga negara.

Baca Juga:
World Book Day, Ini 3 Ketentuan Fasilitas Perpajakan untuk Buku

Pemikiran ini menghadapi respons yang tidak bersahabat dari para partisan dalam perdebatan politik seperempat abad terakhir, di mana retorika politik yang ada saat itu menilai pajak sebagai beban yang tidak adil terhadap orang-orang yang paling produktif atau yang berkerja keras untuk mempunyai penghasilan.

Sayangnya, pemikiran yang dibangun dengan secara hati-hati tersebut tercampur dengan pertentangan terhadap kekayaan warisan yang menurut keduanya menjadi penyebab utama ketimpangan ekonomi. Mereka mengatakan kekayaan warisan hanya berkontribusi sedikit terhadap total penerimaan pajak federal karena banyaknya pengecualian dan penghindaran pajak. Pemikiran keduanya justru dianggap sebagai pendekatan lama yakni hanya menyasar uang pajak dari orang-orang kaya (soak-the-rich).

Selain itu, dalam buku ini, Murphy dan Nagel berpendapat bahwa pengenaan pajak perlu diuji dalam konteks pengeluaran pemerintah (government spending) agar terlihat dari sisi biaya maupun manfaatnya (cost and benefit). Mandat konstitusional untuk meningkatkan kesejahteraan umum harus menjadi panduan dalam menetapkan kebijakan pajak, bukan hanya sekadar teori tentang menurunkan tarif pajak marjinal dan berpihak pada pihak-pihak penabung kekayaan.

Baca Juga:
Kriteria Penghapusbukuan Piutang di Bidang Kepabeanan dan Cukai

Mereka bahkan berpendapat bahwa mungkin masuk akal pemerintah mengenakan pajak pada orang-orang dengan pendapatan serupa secara berbeda jika hal itu dilakukan untuk mencapai kebaikan sosial. Keadilan dalam pajak harus menjadi hasil dari kebijakan pajak, terutama apakah setiap bayi yang baru lahir ke dunia mendapatkan cukup sumber daya untuk memiliki kesempatan yang sama dalam menjalani kehidupan. Menurut mereka, orang miskin terutama dalam hal pendidikan, memiliki klaim moral paling besar terhadap pada uang pajak.

Murphy dan Nagel juga keberatan terhadap perdebatan tentang bagaimana beban pajak didistribusikan di antara kelas pendapatan. Dalam hal ini, mereka mengabaikan kebenaran sederhana bahwa bagi masyarakat, pembagian beban pajak tersebut lebih mudah untuk dinilai daripada menentukan keberhasilan pemerintah dalam mencapai kesejahteraan umum.

Lebih lanjut, penulis menyatakan kebijakan pajak yang meloloskan ‘capital gain’ atas harta warisan sebagai suatu ketidakadilan, apalagi ketika dikombinasikan dengan keringanan pajak lainnya bagi pemilik harta warisan tersebut ketika masih hidup.

Baca Juga:
DJBC Terbitkan Aturan Baru soal Penghapusan Piutang Bea dan Cukai

Kebijakan tersebut dianggap melanggengkan ketidakadilan dan melimpahkan hadiah yang besar bagi orang-orang yang beruntung dari sisi keturunan, yang mungkin saja tidak memberikan kontribusi apapun bagi masyarakat. Solusi dari mereka mungin akan menjadi reformasi mendasar, bahwa penerima warisan dan hibah juga sudah seharusnya membayar pajak sama seperti mereka yang hanya menerima upah kerja.

Murphy dan Nagel memberi sedikit perhatian pada peran pajak dalam menciptakan kekayaan. Conrad Hilton, seorang pengusaha perhotelan Amerika dan pendiri rantai Hilton Hotels menulis dalam surat wasiatnya bahwa perdamaian adalah anugerah bagi pelaku bisnis perhotelan. Tanpa investasi pembayar pajak yang besar dalam menjaga perdamaian serta membangun jalan dan bandara, kekayaannya akan jauh lebih kecil.

Oleh sebab itu, banyak miliarder modern berutang banyak kepada pembayar pajak yang selama ini berinvestasi dalam pendidikan dan kemajuan ilmiah yang menjadi dasar pengembangan produk mereka. Miliarder-miliarder inilah yang harus dikenakan pajak besar agar kebutuhan sumber daya masyarakat tercukupi untuk generasi selanjutnya.

Baca Juga:
Telanjur Ajukan Pbk Tapi Masih Salah Kode Pajak, DJP Beri Solusi Ini

Murpy dan Nagel pada intinya menawarkan ide-ide yang akan memperbaiki perdebatan tentang bagaimana keadilan pajak itu diterapkan, meskipun ide-ide tersebut nampaknya agak sulit diterima dan mungkin tenggelam dalam hiruk-pikuk diskusi pihak-pihak yang antipajak.

Tertarik untuk membaca buku ini? Silakan berkunjung ke DDTC Library.*

Editor :

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.

KOMENTAR
0
/1000

Pastikan anda login dalam platform dan berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE.

ARTIKEL TERKAIT
Rabu, 24 April 2024 | 11:00 WIB INFOGRAFIS CUKAI

Ketentuan Kewajiban Menyelenggarakan Pembukuan di Bidang Cukai

Selasa, 23 April 2024 | 16:00 WIB HARI BUKU SEDUNIA

World Book Day, Ini 3 Ketentuan Fasilitas Perpajakan untuk Buku

Selasa, 23 April 2024 | 13:00 WIB INFOGRAFIS BEA CUKAI

Kriteria Penghapusbukuan Piutang di Bidang Kepabeanan dan Cukai

Minggu, 21 April 2024 | 08:00 WIB PER-4/BC/2024

DJBC Terbitkan Aturan Baru soal Penghapusan Piutang Bea dan Cukai

BERITA PILIHAN
Jumat, 26 April 2024 | 17:30 WIB REFORMASI PAJAK

Reformasi Pajak, Menkeu Jamin Komitmen Adopsi Standar Pajak Global

Jumat, 26 April 2024 | 17:00 WIB KAMUS PAJAK DAERAH

Apa Itu PBJT Jasa Parkir dan Retribusi Parkir?

Jumat, 26 April 2024 | 16:45 WIB KEBIJAKAN KEPABEAN

Impor Barang Kiriman? Laporkan Data dengan Benar agar Tak Kena Denda

Jumat, 26 April 2024 | 16:30 WIB PENERIMAAN PAJAK

Setoran PPN-PPnBM Kontraksi 16,1 Persen, Sri Mulyani Bilang Hati-Hati

Jumat, 26 April 2024 | 15:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Ada Usulan Tarif Pajak Kripto untuk Dipangkas, Begini Tanggapan DJP

Jumat, 26 April 2024 | 15:00 WIB ADMINISTRASI PAJAK

Sudah Lapor SPT Tapi Tetap Terima STP, Bisa Ajukan Pembatalan Tagihan

Jumat, 26 April 2024 | 14:37 WIB PERATURAN PERPAJAKAN

Juknis Penghapusan Piutang Bea Cukai, Download Aturannya di Sini

Jumat, 26 April 2024 | 14:30 WIB KEBIJAKAN PAJAK

Indonesia Ingin Jadi Anggota OECD, DJP: Prosesnya Sudah On Track

Jumat, 26 April 2024 | 14:00 WIB KANWIL DJP DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Korporasi Lakukan Tindak Pidana Pajak, Uang Rp 12 Miliar Disita Negara