Wakil Presiden RI ke-11 Boediono.
SUATU siang yang panas pada 1961, seorang mahasiswa ekonomi tingkat I yang baru berusia 18 tahun duduk diam serius menyimak kuliah umum dari pria kalem berkacamata tebal di Kampus Universitas Gadjah Mada, di Pagelaran Keraton Yogyakarta.
Dengan gaya tenang dan membosankan, pria itu menguraikan pendapatnya tentang dunia seorang ekonom. “Ini dunia yang tidak steril,” katanya dengan nada dalam, “Ekonomi ini tidak bisa berdiri sendiri, perlu pemahaman dari disiplin hukum, sosial, politik, dan lain sebagainya.”
Pria tersebut, mantan Wakil Presiden ke-1 RI (1945-1956) Mohammad Hatta, mencela ekonom yang hanya memahami disiplin ekonomi dari sisi teknis ilmunya, tetapi tidak mencoba mencari tahu disiplin ilmu lain yang justru akan memperkaya pemahamannya tentang ekonomi.
Kalimatnya itu tentu menyiratkan pengalaman yang sangat panjang, pengalaman lahir sekaligus batin. “Berangkat sampai di tujuan, tapi tak tahu situasi perjalanan,” kata Sang Proklamator, mengibaratkan hasil yang dicapai ekonom tersebut jika abai pada disiplin ilmu yang lain.
Inilah kalimat yang tak pernah dilupakan mahasiswa pendiam itu, hingga 48 tahun berselang, saat ia dilantik menjadi Wakil Presiden RI ke-11, ekonom kedua yang menjadi wapres setelah pria kalem tadi. Kalimat itu pula yang acap diulanginya saat mengajar atau berceramah, terutama selepas ia pensiun.
“Mereka yang belajar ekonomi perlu memahami bidang lain seperti sejarah, hukum, politik karena dalam praktiknya mereka saling berkaitan,” kata Boediono (1943-) dalam satu kesempatan. “Ilmu ekonomi bukan sekadar kurva dan dalil. Ekonomi terjadi dalam ruang, waktu dan tatanannya.”
Tidak sekadar berceramah, ia juga merilis buku Ekonomi Indonesia; Dalam Lintasan Sejarah (Mizan, 2016), satu dari sangat sedikit buku ekonomi berbahasa Indonesia yang ditulis dengan kombinasi perspektif sejarah Indonesia 5 abad terakhir.
Dalam ceramahnya yang lain, ia bicara tentang bagaimana kemajuan ekonomi menjadi faktor penentu keberlanjutan demokrasi, selain faktor kohesi sosial dan adanya kelompok pembaharu. “Pendapatan per kapita kita masih berada pada zona risiko tinggi keberhasilan demokrasi,” katanya.
Ia juga menyampaikan, dengan bahasa yang dipahami semua orang, bahwa mengelola perekonomian sebetulnya mirip seperti mengendarai sepeda. Saat mengendarai sepeda, pengendara harus menjaga keseimbangan dan stabilitas untuk dapat terus mengayuh sepeda tersebut.
“Keseimbangan dan stabilitas tidak bisa dilepaskan dari gerakan mengayuh maju, yaitu pertumbuhan. Baik keseimbangan maupun pertumbuhan harus dikerjakan sinkron agar perekonomian dapat terus berjalan. Tanpa keseimbangan dan gerakan mengayuh maju itu, ya sepeda tidak akan jalan,” katanya.
Boediono memang mengalami banyak asam garam dan merah hitamnya mengelola perekonomian Indonesia. Dialah Menteri Keuangan yang melahirkan UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, yang menandai dimulainya reformasi keuangan di Indonesia.
Tak hanya itu, pada masa Boediono pula, lahir UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan UU Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara. Itu dua beleid yang melengkapi paket reformasi keuangan di Indonesia.
Boediono, yang pernah berkarir di Bank Indonesia (BI) dan memimpin Bappenas pada masa Presiden BJ. Habibie, lalu berlanjut ke Departemen Keuangan dan Kemenko Perekonomian sebelum kembali lagi ke BI, juga mengakhiri kerja sama utang dengan International Monetary Fund.
Memang, sepanjang karirnya, Boediono tidak terlepas dari kritik. Keterlibatannya dalam pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia saat menjabat direktur BI, masih disebut dalam kasus yang terkait dengan kerugian negara obligasi rekapitulasi Rp650 triliun dan obligasi BLBI Rp144 triliun itu.
Lalu juga saat memimpin BI (2008-2009) dalam kasus Bank Century, ketika ia menyetujui perubahan persyaratan modal (capital to adequacy ratio) dari 8% menjadi positif dalam peraturan BI sehingga Bank Century memperoleh utang Fasilitas Pendanaan Jangka Pendek dari BI.
Atau saat menyerahkan Bank Century sebagai bank berdampak sistemik ke Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), ia disebut tidak mendasarkan penyerahan itu pada informasi yang sebenarnya mengenai kondisi Bank Century. Proses yang akhirnya menyebabkan kerugian negara Rp7,4 triliun.
Namun, semua tudingan miring itu tidak mengubah sosok Boediono. Dia tetap seorang ekonom yang rendah hati, sederhana, bahkan tidak pernah marah, selalu menjawab dengan sopan ketika ditanya wartawan, dan lapang menerima kritik—termasuk dari bawahan terendah sekalipun.
“Saya bertugas di Departemen Keuangan sudah mengalami pergantian 15 menteri. Dari 15 menteri itu, hanya Pak Boed yang datang ke pernikahan anak saya. Menteri yang paling santun dari semua Menteri Keuangan,” kata Sophian, pensiunan Humas Kemenkeu. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.