Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (foto: Kemenkeu)
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memproyeksi penerimaan pajak pada tahun ini akan melemah sebagai efek lanjutan dari wabah virus Corona. Topik tersebut menjadi bahasan sejumlah media nasional pada hari ini, Kamis (27/2/2020).
Pelemahan ekonomi global akibat wabah virus Corona, menurut Sri Mulyani, akan berdampak pada perekonomian nasional. Kondisi itu pada gilirannya akan membuat penerimaan pajak ikut melemah. Namun, kebijakan fiskal dinilai harus tetap ekspansif untuk memberi stimulus pada perekonomian.
“Kalau ekonomi turun dan penerimaan pajak lemah, kita memang harus menyiapkan diri untuk meningkatkan defisit. Kalau pemerintah ikut mengencangkan ikat pinggang, kita potong semua belanja, maka ekonomi bisa nyungsep," katanya.
Seperti beritakan sebelumnya, berdasarkan rilis APBN Kita, realisasi penerimaan pajak per 31 Januari 2020 tercatat senilai Rp80,22 triliun atau 4,88% dari target Rp1.624,57 triliun. Performa ini tercatat turun 6,86% dibandingkan capaian periode yang sama tahun lalu.
Sri Mulyani tidak menjelaskan lebih detail proyeksi realisasi penerimaan pajak pada tahun ini. Dia hanya mengatakan otoritas fiskal bersiap untuk memperlebar defisit anggaran dari patokan yang dalam APBN senilai Rp307,2 triliun atau 1,76% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Selain itu sejumlah media nasional juga masih menyoroti rencana kebijakan yang digadang-gadang mampu memberikan stimulus bagi perekonomian di bawah tekanan virus Corona. Beberapa media masih membahas rencana penghapusan pajak hotel dan restoran di 10 destinasi wisata.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati belum menyebutkan perkiraan angka pelebaran defisit APBN 2020. Dia hanya mengatakan ruang pelebaran defisit masih sangat tersedia karena Undang-undang Keuangan Negara mengatur maksimal defisit anggaran sebesar 3%.
Sri Mulyani menyebut pemerintah selalu siap mengubah kebijakan fiskal untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi di pelemahan karena wabah virus Corona. Dalam konteks ini, penerimaan pajak juga masih akan terus dipantau. (Bisnis Indonesia/Kontan/DDTCNews)
Dirjen Pajak Suryo Utomo mengungkapkan wabah virus Corona menambah deretan tantangan bagi Ditjen Pajak (DJP) dalam mengumpulkan penerimaan tahun ini. Efek dari virus Corona memengaruhi lalu lintas barang dan orang dari China. Kedua komponen tersebut memiliki imbas kepada Indonesia.
Pada lalu lintas barang, adanya virus Corona membuat kegiatan impor dari Negeri Tirai Bambu ke Tanah Air menjadi semakin berkurang. Hal ini kemudian berdampak kepada penerimaan pajak dari kegiatan impor.
Kemudian, dari sisi lalu lintas orang, adanya kebijakan lockdown (pembatasan) dapat berimplikasi pada kegiatan pariwisata di Tanah Air. Hal ini pada gilirannya juga akan menekan potensi penerimaan pajak yang bisa masuk ke kas negara.
"Dengan adanya virus Corona memberikan efek yang besar di 2020 dan ini imbasnya berat,” kata Suryo. (DDTCNews)
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Hariyadi Sukamdani mengapresiasi insentif berupa penghapusan pajak hotel dan restoran per Maret 2020 untuk 6 bulan ke depan sebagai upaya untuk memberi stimulus pada perekonomian.
Kendati demikian, Hariyadi mengingatkan efektivitas pemberian insentif ini tergantung dari seberapa cepat implementasi dari sisi pencairan anggaran. Selain itu, kejelasan petunjuk teknis dan pelaksanaan juga akan berpengaruh. (Bisnis Indonesia/DDTCNews)
Plt Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu Arif Baharudin mengatakan dalam lima tahun terakhir, pagu bea masuk ditanggung pemerintah (BMDTP) senilai Rp600 miliar. Namun, penyerapan pada dua tahun terakhir hanya mencapai 60%-70%.
“Proses pemanfaatan BMDTP cukup panjang sehingga menjadi kendala utama penyerapan,” katanya. (Kontan)
Pemerintah memproyeksi pertumbuhan ekonomi pada 2020 hanya akan berada di kisaran 4,7%—5,0%, melambat signifikan dibandingkan asumsi dalam APBN sebesar 5,3%. Proyeksi ini dipengaruhi adanya dampak dari wabah virus Corona.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan perubahan proyeksi dipengaruhi oleh penurunan estimasi pertumbuhan ekonomi China dari 6% menjadi hanya 5%. Hal tersebut akan berpengaruh pada perlambatan pertumbuhan ekonomi Indonesia hingga 0,3%.
“Inilah yang menyebabkan kami di pemerintah berkomunikasi dengan BI dan OJK, bagaimana cara kita men-stimulate kembali atau countercyclical dengan instrumen kebijakan di dalam masing-masing kewenangan kita," katanya. (DDTCNews) (kaw)