TIMBULNYA sengketa pajak akibat adanya perbedaan kepentingan antara otoritas dan wajib pajak merupakan hal yang lumrah terjadi. Namun, hal ini bisa menjadi masalah apabila terjadi penumpukan sengketa pajak di pengadilan.
Merujuk buku berjudul Lembaga Peradilan Pajak di Indonesia, penumpukan sengketa yang terus terjadi bisa menimbulkan risiko peradilan yang berjalan tidak efektif, akses terhadap keadilan sangat berkurang, dan pada akhirnya berpotensi melemahkan supremasi hukum.
Salah satu penyebab penumpukan sengketa pajak adalah tren kenaikan jumlah sengketa pajak yang tidak dibarengi dengan jumlah putusan pengadilan. Berdasarkan catatan Mahkamah Agung, rasio produktivitas memutus perkara Pengadilan Pajak cenderung menurun pada periode 2017-2021.
Pada 2017, rasio produktivitas memutus Pengadilan Pajak tercatat 48,70%. Pada tahun berikutnya, menurun menjadi 42,65%. Rasio produktivitas memutus sempat mengalami kenaikan signifikan pada 2019, yaitu sebesar 74,34%.
Namun, rasio produktivitas memutus Pengadilan Pajak pada tahun-tahun berikutnya menurun menjadi 57,63% dan 51,45%. Penyebab penurunan rasio produktivitas memutus pada 2020 dan 2021 ini salah satunya dikarenakan pandemi Covid-19.
Kala itu, pemerintah menerapkan kebijakan social distancing sehingga menggerus rasio produktivitas memutus Pengadilan Pajak. Pada gilirannya, produktivitas memutus yang rendah tersebut berdampak pada makin tingginya jumlah penumpukan berkas sengketa (backlog case).
Rasio produktivitas memutus Pengadilan Pajak tersebut juga ternyata paling rendah dibandingkan dengan rasio produktivitas memutus Mahkamah Agung (MA) dan pengadilan lainnya di tingkat banding dan pertama dalam 5 tahun terakhir ini.
Untuk diketahui, rasio produktivitas memutus (case-deciding productivity rate) adalah perbandingan antara jumlah perkara putus dan jumlah beban perkara dalam satu periode. Berikut rasio produktivitas memutus perkara MA dan badan peradilan di bawahnya pada periode 2017-2021.