LAPORAN FOKUS

Digitalisasi Administrasi Pajak, Apa Saja Teknologi yang Dipakai?

Muhamad Wildan
Kamis, 06 Maret 2025 | 13.57 WIB
Digitalisasi Administrasi Pajak, Apa Saja Teknologi yang Dipakai?

OTORITAS pajak di berbagai yurisdiksi terus berupaya untuk beradaptasi dan mengadopsi beragam teknologi baru. Saat ini, banyak yurisdiksi yang hendak bertransformasi menerapkan tax administration 3.0 dari sebelumnya tax administration 2.0.

Perlu diketahui, tax administration 2.0 adalah administrasi pajak berbasis elektronik yang sebagian besar proses bisnisnya sudah terdigitalisasi, tetapi masih memiliki beragam keterbatasan sehingga menimbulkan tingginya compliance cost dan tax gap.

Sementara itu, tax administration 3.0 adalah sistem administrasi pajak generasi baru yang diklaim mampu mengintegrasikan diri dengan sistem milik wajib pajak dalam rangka menurunkan compliance cost.

Melalui transformasi digital menuju tax administration 3.0, otoritas pajak berupaya menggeser proses bisnis perpajakan yang selama ini berlangsung di hilir menjadi ke hulu dengan memanfaatkan teknologi yang mampu mendukung pengadministrasian pajak secara real time.

Merujuk hasil survei International Survey on Revenue Administration (ISORA) 2020 - 2023 terhadap 45 otoritas pajak di Asia dan Pasifik, terdapat 9 jenis teknologi inovatif (innovative technologies) yang diadopsi oleh otoritas pajak guna mendukung transformasi menuju tax administration 3.0.

Teknologi dimaksud antara lain distributed ledger atau blockchain, artificial intelligence (AI), cloud technology, data analytics, robotics process automation, application programming interface (API), whole of government identification, digital authentication, hingga virtual assistants.

Data ISORA menunjukkan teknologi yang paling banyak digunakan otoritas pajak Asia dan Pasifik ialah API. Pada 2022, sudah ada 26 otoritas pajak yang menggunakan API untuk meningkatkan kualitas pelayanan pajak.

ISORA mendefinisikan API sebagai serangkaian fungsi dan prosedur software yang memungkinkan aplikasi untuk mengakses fitur atau data dari software lain.

API dapat dipakai untuk memfasilitasi pengiriman dan penerimaan data antara sistem milik otoritas pajak dan sistem milik pihak eksternal tanpa menimbulkan potensi kebocoran data.

Contoh, API telah digunakan oleh otoritas pajak Pakistan untuk mendukung pembuatan faktur pajak melalui electronic invoicing system. Kini, otoritas pajak Pakistan mewajibkan pengusaha kena pajak (PKP) yang dikategorikan sebagai supply chain operators (SCO) untuk menggunakan electronic invoicing system.

Seluruh SCO diwajibkan untuk menyesuaikan sistem mereka untuk mengakomodasi pembuatan faktur pajak atas setiap penjualan dan pembelian.

Saat SCO memasukkan perincian transaksi, SCO harus memilih jenis faktur yang digunakan. Setelah faktur dibuat oleh SCO, faktur dimaksud akan langsung dikirimkan melalui API. API yang sama juga digunakan untuk menerima data faktur pembelian.

Sementara itu, teknologi yang paling minim digunakan oleh otoritas pajak yurisdiksi Asia dan Pasifik ialah distributed ledger atau blockchain.

ISORA mendefinisikan distributed ledger atau blockchain sebagai teknologi yang memungkinkan otoritas pajak untuk menyimpan dan memperbarui transaksi di banyak komputer dalam waktu yang bersamaan. Dengan blockchain, suatu transaksi yang sudah disimpan dalam 1 block tidak bisa serta merta diubah.

Hingga 2022, hanya otoritas pajak Georgia dan Thailand yang sudah menerapkan menggunakan distributed ledger atau blockchain.

Di Thailand, distributed ledger atau blockchain telah digunakan untuk membuat aplikasi VAT refund bagi turis asing. Dengan blockchain, pencairan restitusi dipersingkat dari sebulan menjadi 1-3 hari saja.

Saat dirilis pada 2020, pemerintah Thailand mengeklaim aplikasi VAT refund akan meningkatkan konsumsi turis asing hingga 10%. Jangka waktu restitusi PPN yang lebih cepat dipandang akan mendorong turis asing untuk berbelanja lebih banyak. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.