Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews—Kementerian Keuangan mencatat realisasi pembiayaan utang per 29 Februari sudah mencapai Rp115,5 triliun atau 32,8% dari yang direncanakan pada APBN 2020 sebesar Rp351,8 triliun.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan realisasi utang tersebut masih terjaga meski realisasinya sudah mencapai sepertiga dari target. Dia juga memastikan penarikan utang tetap dilakukan secara hati-hati dan sesuai UU Keuangan Negara.
“Kami juga akan menggunakan sisa anggaran lebih dari tahun sebelumnya untuk mengurangi kebutuhan kita dalam penerbitan surat utang di pasar di tengah kondisi yang tidak positif dalam sepekan terakhir ini,” katanya melalui konferensi video, Rabu (19/3/2020).
Realisasi pembiayaan utang terdiri dari Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp113,85 triliun atau 29,2% dari yang direncanakan pada APBN, serta pinjaman senilai Rp1,71 triliun atau negatif 4,6% dari target APBN.
Secara keseluruhan, posisi utang pemerintah per Februari 2020 berada di angka Rp4.948 triliun dengan rasio utang 30,82% terhadap PDB. Porsi utang tersebut masih didominasi oleh SBN domestik senilai Rp3.031 triliun atau 62,07%.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menambahkan realisasi utang digunakan untuk membiayai kebutuhan belanja produktif di sektor-sektor prioritas yang mendesak, terutama di tengah wabah virus Corona.
Apalagi karena wabah virus Corona yang merebak ke berbagai negara sejak akhir Desember 2019, pertumbuhan ekonomi global juga ikut terdampak. Belum lagi, perang harga minyak saat ini juga semakin intens.
Di tengah gejolak tersebut, pemerintah mengandalkan kebijakan belanja negara yang lebih besar daripada pendapatan negara atau countercyclical. Kebijakan ini diharapkan dapat menjaga pertumbuhan ekonomi di dalam negeri.
“Pengadaan utang di awal tahun juga diyakini lebih menguntungkan karena pemerintah dapat memperoleh dana dengan biaya minimal, melalui yield atau imbal hasil yang rendah,” tutur Sri Mulyani.
Sementara itu, Direktur Jenderal Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman menambahkan pemerintah akan lebih berhati-hati memilih pasar surat utang di tengah tekanan virus Corona dan penurunan harga minyak dunia.
Menurutnya, situasi pasar yang bergejolak menjadi alasan pemerintah untuk memprioritaskan penarikan utang dari dalam negeri.
“Kalau kita melihat evaluasi pertama, kami akan support dari investor domestik yang masih bagus. Saat ini kami melihat belum saatnya masuk ke market global bond karena sangat volatile,” ujarnya.
Tahun ini, pemerintah memperkirakan pelebaran defisit hingga 0,8%, dari semula 1,76% menjadi 2,5% dari PDB. Pelebaran defisit tersebut di antaranya disebabkan adanya kebijakan insentif fiskal dalam penanggulangan efek Corona. (rig)