Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Compliance risk management (CRM) fungsi penegakan hukum akan digunakan oleh Ditjen Pajak (DJP) untuk melakukan penegakan hukum sesuai dengan Pasal 37 hingga Pasal 42 UU KUP.
Direktur Penegakan Hukum DJP Eka Sila Kusna Jaya mengatakan ada 3 tindak pidana perpajakan yang membuat wajib pajak memiliki risiko tinggi berdasarkan CRM fungsi penegakan hukum.
"Pertama, pungut tidak setor. Kedua, [faktur pajak] tidak berdasarkan transaksi sebenarnya. Ketiga, percobaan restitusi atau kompensasi pajak," ujar Eka, Rabu (13/4/2022).
Seperti aplikasi-aplikasi CRM pada fungsi lainnya, risiko wajib pajak diukur melalui bidang koordinat berdasarkan tingkat kemungkinan ketidakpatuhan pada sumbu X dan dampak fiskalnya pada sumbu Y.
Pada sumbu X, aplikasi CRM mengukur tingkat kemungkinan tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan yang disebabkan oleh adanya tindak pidana perpajakan oleh wajib pajak. Pada sumbu Y, akan diukur konsekuensi tidak terpenuhinya kewajiban perpajakan yang disebabkan oleh wajib pajak yang melakukan tindak pidana pajak.
"Dengan CRM, kami akan memiliki pengukuran dalam menetapkan prioritas dengan acuan yang teratur, terukur, sederhana, efisien, dan menghasilkan," kata Dirjen Pajak Suryo Utomo dalam keterangan resmi yang telah diberitakan sebelumnya.
Untuk diketahui, DJP sebelumnya sudah memiliki aplikasi CRM untuk mendukung fungsi-fungsi lainnya seperti  fungsi pengawasan dan pemeriksaan, fungsi penagihan, fungsi ekstensifikasi, transfer pricing, dan edukasi perpajakan.
Dalam pelaksanaannya, aplikasi CRM juga didukung oleh aplikasi lain seperti smartweb, ability to pay, dashboard wajib pajak madya, dan smartboard.
Aplikasi-aplikasi ini diharapkan dapat menjadi landasan perbaikan sistem administrasi perpajakan ke depan. "Sebelum coretax, kami berharap sudah bisa memahami manfaat yang diberikan aplikasi sehingga ke depan kami perlu tahu elemen pembentuknya sebagai penyempurnaan," kata Suryo. (sap)