PEMBENTUKAN suatu grup bisnis sejatinya dimaksudkan untuk mendorong efisiensi dalam rangka menghindari adanya biaya transaksi. Bisnis yang terintegrasi pun pada umumnya berupaya menciptakan pasar internal di antara entitas dalam grup.
Akan tetapi, bagaimana jika ternyata transaksi afiliasi justru digunakan sebagai alat untuk semata-mata memaksimumkan keuntungan bagi pemilik (ultimate owner) tanpa pertimbangan rasional keberlangsungan usaha? Nah, dari sinilah persoalan tersebut muncul.
Menurut Berle dan Means (1932), maupun Jensen dan Meckling (1976) lewat teori keagenan, adanya penguasaan kepemilikan dalam grup bisnis justru berpotensi menciptakan kesalahan tata kelola dan mendorong terjadinya konflik antara pengurus dengan pemilik.
Pemilik berkepentingan mengejar keuntungan pribadi, sedangkan perusahaan yang berada di bawah kontrolnya hanya diperlakukan sebagai sarana. Transaksi afiliasi yang pada awalnya dimaksudkan untuk menciptakan kepastian, skala ekonomi dan daya saing, bisa-bisa justru memberikan hasil sebaliknya.
Sayangnya, hingga kini belum ada penelitian yang membahas hal tersebut untuk kasus di Indonesia. Kesulitan dalam menganalisis secara empiris untuk memetakan motif yang mendasari transaksi afiliasi menjadi penyebabnya.
Mahasiswa Doktoral Institut Pertanian Bogor (IPB) Martua E. Tambunan mengisi kekosongan tersebut melalui disertasinya yang berjudul “Analisis Pengaruh Transaksi Afiliasi, Tata Kelola dan Faktor-Faktor Makroekonomi terhadap Nilai Perusahaan Grup Bisnis di Bursa Efek Indonesia”. Karya akademis tersebut disusun dalam rangka memeroleh gelar doktor di bidang manajemen keuangan di IPB.
Bertempat di Gedung Pascasarjana IPB, sidang promosi doktor diselenggarakan secara terbuka pada Rabu, (2/11) kemarin. Hadir sebagai penguji adalah: Prof. Dr. Hermanto Siregar (Ketua Pembimbing), Prof. Dr. Adler Manurung, Prof. Dr. Dominicus Savio Priyarsono. Sedangkan, anggota luar komisi yang turut mendiskusikan disertasi tersebut adalah: Prof. Dr. Noer Azam Achsani dan Dr. Robert Pakpahan.
Penelitian dilakukan terhadap tiga grup perusahaan yang tercatat di lantai Bursa Efek Indonesia (BEI). Ketiganya dipilih berdasarkan representasi nilai kapitalisasi pasar. Periode penelitian dilakukan antara 2006 hingga 2013 (data triwulan) dengan pendekatan teknik ekonometrika.
Hasil Disertasi
Penelitian ini setidaknya memberikan beberapa kesimpulan menarik. Pertama, bahwa pola kepemilikan, tata kelola yang baik (good corporate governance) serta struktur permodalan memengaruhi intensitas adanya transaksi afiliasi. Akan tetapi, pengaruh dan signifikansinya berbeda-beda antargrup.
Kedua, masing-masing grup memiliki tipe dan pola transaksi afiliasi yang berbeda. Dalam grup bisnis yang sehat, skema transaksi afiliasi dilakukan untuk meningkatkan efisiensi sekaligus nilai grup bisnis di mata publik.
Menariknya, Martua juga dapat membuktikan secara empiris adanya kecenderungan di salah satu grup bisnis bahwa transaksi afiliasi yang dilakukan hanya untuk memuaskan ketamakan (greedy) dari si pemilik.
Ketiga, selain faktor mikro, penelitian ini juga menunjukkan sejauh mana faktor makro seperti: harga minyak, PDB, suku bunga dan sebagainya, berpengaruh kepada nilai perusahaan.
Terakhir, tata kelola yang baik (good corporate governance/GCG) adalah sesuatu yang bisa menjamin bahwa transaksi afiliasi tidak disalahgunakan. Dewasa ini, GCG belum dipahami sebagai salah satu elemen penting atau keharusan yang mengikat dari manajemen perusahaan di Indonesia. Fakta bahwa grup perusahaan di Indonesia yang berangkat dari bisnis keluarga juga menjadi hambatan tersendiri.
Selain faktor kebaruan analisis, Martua menegaskan manfaat studi ini bagi negara dan pemegang saham minoritas (minority shareholder). Dalam konteks penerimaan pajak, transaksi afiliasi rentan dimanfaatkan sebagai upaya manipulasi transfer pricing.
Pengetahuan mengenai pola perilaku transasaksi afiliasi oleh grup perusahaan dapat membantu otoritas pajak dalam memetakan risiko, profiling, dan melakukan pencegahan praktik manipulasi transfer pricing secara lebih efektif.
Informasi yang sama juga dapat dipergunakan oleh minority shareholder dalam memilih portfolio investasi yang lebih sehat. Sebagai informasi, mereka adalah pihak yang paling rentan dirugikan dalam konflik kepentingan antara pemilik dan pengurus terutama pada kebijakan transaksi afiliasi. Adanya pengelolaan perusahaan yang lebih prudent dan transparan sejatinya dapat melindungi minority shareholders.*