Pemimpin Umum DDTCNews/Ketua Umum ATPETSI Darussalam dan Dirjen Pajak Suryo Utomo dalam Talk show PPS hasil kolaborasi DDTCNews dan Ditjen Pajak (DJP) bertajuk Mengikis Keraguan Program Pengungkapan Sukarela (PPS).
JAKARTA, DDTCNews - Ada satu alasan kuat yang membuat wajib pajak tidak perlu ragu mengikuti program pengungkapan sukarela (PPS).
Ketua Umum ATPETSI/Pemimpin Umum DDTCNews Darussalam mengingatkan bahwa lanskap pajak Indonesia segera masuk era baru hubungan antara otoritas dan wajib pajak. Hubungan keduanya akan menjadi setara, saling menghargai, dan terbuka terkait dengan informasi. Pergeseran pola hubungan ini jelas berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya.
“Kata kuncinya adalah akses informasi dan transparansi. Tanpa ada pemeriksaan, tanpa ada sanksi besar mereka secara sukarela sudah patuh," ujar Darussalam dalam Talk show PPS yang digelar atas kolaborasi DDTCNews dan Ditjen Pajak, Selasa (22/3/2022).
Dalam acara yang bertajuk Mengikis Keraguan Program Pengungkapan Sukarela (PPS) ini, Darussalam juga menyampaikan sistem pajak Indonesia sudah berorientasi pada optimalisasi kepatuhan selama 5 tahun terakhir. Mengingat Indonesia menganut sistem self assessment bagi wajib pajak dalam menjalankan kewajiban pajaknya, akses informasi mutlak diperlukan oleh otoritas.
Darussalam pun menjabarkan ada 3 tahapan penting yang sudah dilakukan DJP untuk memenuhi kebutuhan terhadap akses informasi keuangan wajib pajak.
Pertama, adanya upaya mengumpulkan informasi melalui pertukaran data dan informasi antarinstansi, pembentukan Direktorat Intelijen Perpajakan, pertukaran informasi antarotoritas pajak baik berdasarkan permintaan maupun secara otomatis, hingga adanya UU Akses Informasi Keuangan untuk Kepentingan Perpajakan.
Kedua, mengumpulkan informasi yang didapat melalui transformasi proses bisnis berbasis teknologi informasi, termasuk di dalamnya adanya integrasi data. Proses ini mencakup Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) yang sudah berjalan sejak 2018 hingga kini.
Ketiga, upaya untuk mengolah informasi menjadi pisau analisis pengujian kepatuhan wajib pajak. Singkatnya, selama waktu singkat, otoritas pajak terus berproses dari sekadar mendapatkan informasi hingga memiliki kemampuan mengolah informasi tersebut.
“Ini sudah dimulai oleh DJP. Apa yang disebut sebagai data matching semisal menghubungkan antara data SPT dengan data-data lain semisal harta, kredit, aktivitas ekonomi, dan sebagainya makin mudah dilakukan,” kata Darussalam.
Senada dengan Darussalam, Suryo menekankan luasnya akses data dan informasi yang dimiliki oleh Ditjen Pajak. UU HPP, menurutnya, sudah menyediakan ruang bagi otoritas untuk mendudukkan sistem administrasi perpajakan untuk perluasan basis pajak.
DJP, imbuh Suryo, akan terus melakukan data matching antara basis data yang dimiliki otoritas dengan tambahan informasi yang didapat dari lapangan dari sumber-sumber lainnya.
"Kami cocokkan data yang kami punya dengan wajib pajak di lapangan. Ada yang belum ber-NPWP tapi punya aset. Kami ingin masyarakat terlebih sepenuhnya dalam sistem perjakan Indonesia. Yang memang harus bayar ya bayar, yang enggak harus bayar ya enggak," kata Suryo.
Suryo lantas mengungkapkan sumber-sumber informasi perpajakan yang diperoleh Ditjen Pajak. Tidak cuma data perbankan saja yang bisa diakses dengan leluasa oleh otoritas tapi juga akses informasi keuangan dari negara lain yang sudah menjalin kerja sama dengan Indonesia.
"Jadi setelah kami akses informasinya, kami adakan program ini [PPS], kami ingatkan ke wajib pajak bahwa dalam catatan kami ada harta yang belum dilaporkan. Mumpung ada PPS, silakan dilaporkan. Jadi ini kembali ke sukarela wajib pajak tadi," kata Suryo.
Secara lebih luas, Suryo menyebutkan PPS memberikan dampak kepada makroekonomi berupa peningkatan realisasi investasi, penyehatan APBN dan menunjang pendanaan untuk pembangunan, serta memperbaiki tingkat kepatuhan pajak secara berkesinambungan.
"Jadi seluruh masyarakat Indonesia jelas diuntungkan," kata Suryo.
Tren pajak solidaritas juga punya kaitan erat dengan PPS. Suryo mengatakan PPS jelas mewakili prinsip kegotongroyongan dalam sistem pajak, khususnya di tengah pandemi. Karenanya, apabila ada wajib pajak yang berminat ikut tapi sebenarnya tidak secara gamblang dikategorikan sebagai wajib pajak dalam skema Kebijakan I dan II, pada prinsipnya tidak dilarang.
"Intinya adalah kontribusi, solidaritas, dan gotong royong," kata Suryo. (sap)