Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Ditjen Pajak (DJP) menyebut core tax administration system dirancang sebagai sistem administrasi pajak yang terbuka dan bisa merespons perkembangan bisnis dan teknologi terbaru, termasuk aset kripto hingga NFT.
Wakil Manajer Proyek Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) DJP Eka Darmayanti mengatakan suatu sistem yang terbuka dapat dengan mudah berinteraksi dengan sistem lain, termasuk teknologi blockchain.
Hanya saja, sambungnya, diperlukan landasan regulasi yang jelas terkait dengan pemajakan atas cryptocurrency sebelum sistem administrasi otoritas pajak dapat berinteraksi dengan teknologi blockchain tersebut.
"Jadi, kembali ke peraturannya dulu seperti apa. Sistem itu secara teknis sebenarnya bisa saja. Kalau secara legal sudah fix, baru bisa kami akomodasi," katanya, dikutip pada Selasa (18/1/2022).
Dalam acara Learning Organization Knowledge Room yang diselenggarakan Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK), Eka menjelaskan DJP saat ini sedang melakukan kajian atas aset digital tersebut.
Dirjen Pajak Suryo Utomo sebelumnya menyatakan DJP tengah mendalami perlakuan PPN dan PPh atas cryptocurrency. Bila aset kripto adalah barang dan jasa maka penyerahannya terutang PPN. Bila aset kripto adalah substitusi dari uang maka penyerahannya tidak terutang PPN.
Dari sisi pajak penghasilan, lanjutnya, DJP telah mengadakan diskusi dengan pihak terkait mengenai skema laba yang diperoleh wajib pajak dari transaksi cryptocurrency. Simak, 'Soal Skema Pemajakan Transaksi Cryptocurrency, Ini Kata Dirjen Pajak'
"[Misalnya] saya beli Rp1 juta, saya bisa jual Rp3 juta. Nah, pertanyaannya, apakah Rp3 juta ini betul-betul sesuatu yang kita bisa tukarkan dengan uang nyata?" ujarnya.
Bila bisa ditukarkan dengan uang maka laba yang diperoleh dari transaksi cryptocurrency terutang pajak sesuai dengan UU PPh. Alhasil, DJP juga perlu mempertimbangkan skema pemajakannya, baik melalui pemotongan maupun pemungutan PPh. (rig)