Managing Partner DDTC Darussalam dalam webinar bertajuk Initial Public Offering and Tax: What to Know and Prepare yang diadakan DDTC Academy dan Bursa Efek Indonesia (BEI), Kamis (2/12/2021).
JAKARTA, DDTCNews - Perusahaan perlu mengelola implikasi perpajakan yang timbul pada saat mencatatkan saham perdananya atau initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan perusahaan biasanya melakukan berbagai aktivitas sebelum melakukan IPO, seperti revaluasi aset hingga restrukturisasi. Menurutnya, berbagai aktivitas tersebut memiliki implikasi pajak.
"Setiap aktivitas seperti revaluasi aset dan restrukturisasi itu tidak lepas dari implikasi pajak. Tentu kita harus pelajari bagaimana implikasinya, dan yang jauh lebih penting adalah bagaimana kita mengelola implikasi pajak itu," katanya, Kamis (2/12/2021).
Dalam webinar bertajuk Initial Public Offering and Tax: What to Know and Prepare yang diadakan DDTC Academy dan Bursa Efek Indonesia (BEI), Darussalam menjelaskan tax diagnostic review perlu dilakukan secara cermat dengan melihat setiap transaksi bisnis serta implikasi pajaknya saat sebelum IPO, pada saat IPO, dan setelah IPO.
Saat ini, lanjutnya, pemerintah juga telah mengeluarkan banyak fasilitas perpajakan yang berkaitan dengan IPO atau menjadi perusahaan terbuka. Fasilitas diberikan pemerintah dengan tujuan untuk mengembangkan bursa efek.
"Tentu perusahaan ingin mendapatkan fasilitas ini dan bagaimana mengelola pajak secara efisien sesuai dengan ketentuan perpajakan yang berlaku. Jika ada fasilitas yang memang diberikan pemerintah, tentunya kita harus bisa mendapatkan fasilitas tersebut," ujarnya.
Sementara itu, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna menuturkan pasar modal Indonesia saat ini terus mengalami pertumbuhan yang positif, baik dari sisi suplai, permintaan, maupun transaksi harian.
Dari sisi suplai, jumlah perusahaan yang tercatat di BEI tercatat tumbuh 40% dari 2016 ke 2020. Pertumbuhan jumlah perusahaan tercatat tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan di negara-negara Asean lainnya.
“BEI selama 3 tahun berturut-turut telah secara konsisten menjadi bursa dengan perusahaan tercatat terbanyak di Asean,” tuturnya.
Dari sisi permintaan, Nyoman mengeklaim jumlah investor yang menanamkan modalnya makin meningkat. Hingga Oktober 2021, jumlah investor pasar modal sudah mencapai 6,8 juta, naik 80% dibandingkan dengan jumlah investor pada 2020.
Kemudian, lanjutnya, 60% dari transaksi di pasar modal didominasi investor ritel. Lalu, sebanyak 80% dari investor ritel adalah investor generation Z dan milenial. Dia berharap investor ritel yang mendominasi dapat meningkatkan ketahanan pasar modal Indonesia.
Untuk mendukung calon perusahaan tercatat, BEI telah melakukan revisi atas listing rules guna mempermudah dan memperluas cakupan perusahaan yang dapat melakukan IPO dan mencatatkan sahamnya di bursa. (rig)