Partner of Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Berlakunya UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) bakal berimbas pada aspek kepatuhan wajib pajak dan upaya pemerintah dalam menangkal praktik penghindaran pajak.
Soal aspek kepatuhan ini, Partner of Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji menyampaikan, bisa dibedah lebih mendalam melalui 3 pendekatan yakni penegakan hukum, sosiologis, dan psikologis.
Perombakan regulasi perpajakan yang sudah dilakukan dalam 2 tahun terakhir, menurut Bawono, sebenarnya sudah mengakomodir 3 pendekatan di atas dalam memperbaiki iklim kepatuhan. Kebijakan yang paling berdampak terhadap kepatuhan adalah transformasi administrasi perpajakan yang sedang digarap pemerintah.
"Hadirnya PSIAP [Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan] membuat administrasi makin mudah. Kemudian dalam UU Cipta Kerja telah dibuat penerapan sanksi yang proporsional," katanya dalam acara bertajuk 'Harmonisasi Pengaturan Pajak dan Digitalisasi Keuangan, Berdampak Baik?' pada Rabu (13/10/2021).
Tak berhenti di PSIAP, upaya perbaikan pun berlanjut melalui pengesahan UU HPP awal Oktober ini. UU HPP mengakomodir aspek kepatuhan melalui integrasi nomor induk kependudukan (NIK) dan nomor pokok wajib pajak (NPWP). Hal tersebut menjadi langkah awal menuju skema satu data Indonesia atau lebih dikenal dengan single identity number.
Dia menyampaikan integrasi data NIK dan NPWP merupakan langkah strategis untuk meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Pasalnya, otoritas akan mendapatkan basis informasi yang lebih baik mengingat basis data NIK jauh lebih luas ketimbang NPWP.
"Dengan adanya UU ini [HPP] sebenarnya menjadi klop dengan rezim self assessment. DJP bertugas membina dan mengawasi kepatuhan. Tanpa data dan informasi maka akan sulit [melakukan pengawasan atas kepatuhan wajib pajak]," terangnya.
Selain itu, upaya meningkatkan kepatuhan juga diatur UU HPP melalui pembaruan Pasal 32A UU KUP, yakni penunjukan pihak lain sebagai pemotong, pemungut, penyetor, dan pelapor yang mencakup transasksi elektronik.
Tak cuma soal kepatuhan saja yang berpotensi meningkat, UU HPP juga mempersempit ruang praktik penghindaran pajak. Apalagi praktik ini ditaksir menggerus penerimaan pajak hingga Rp69 triliun per tahun berdasarkan laporan Tax Justice Network.
Tarif PPh badan tetap yang dipertahankan di level 22% juga dirasa tidak berisiko mengingat adanya skema pajak efektif minimum global. Dengan demikian, ada dugaan bahwa praktik pengalihan laba ke yurisdiksi suaka pajak akan berkurang. Upaya memerangi penghindaran pajak juga didukung oleh aspek administrasi melalui bantuan penagihan pajak lintasnegara yang juga diatur dalam UU HPP.
Namun demikian, berbagai sinyal positif yang disampaikan lewat UU HPP tak lantas membuat pemerintah bebas pekerjaan rumah. Pemerintah juga perlu mendesain ketentuan pengganti Debt to Equity Ratio (DER) yang juga selaras dengan pemulihan ekonomi dan tidak mendistorsi pasar keuangan.
Lenyapnya klausul soal General Anti Avoidance Rule (GAAR) serta Alternative Minimum Tax (AMT) dalam UU HPP juga cukup disayangkan. Padahal, menurut Bawono, opsi tersebut diyakini bakal mengoptimalkan upaya melawan praktik penghindaran pajak. (sap)