Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Negara-negara berkembang di Asia Timur dan Pasifik berpotensi mengalami situasi ekonomi serupa dengan taper tantrum pada 2013 lalu. Kekhawatiran ini bisa terjadi jika negara maju mengubah kebijakan moneternya dalam waktu dekat.Â
Kerentanan negara berkembang di Asia Timur terhadap perubahan kebijakan moneter negara maju, khususnya AS, disebabkan oleh disparitas laju pemulihan ekonomi antara negara maju dan negara berkembang.
"Risiko yang saat ini membayangi adalah potensi AS meningkatkan suku bunga acuannya guna menekan kenaikan inflasi," tulis World Bank dalam laporannya yang berjudul East Asia and Pacific Economic Update - Long Covid, dikutip Rabu (29/9/2021).
Kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed berpotensi mendorong terjadinya arus modal keluar dari negara berkembang dan depresiasi nilai tukar mata uang negara-negara Asia Timur dan Pasifik.
Bank Sentral ASÂ sendiri berulang kali mengatakan akan menjaga suku bunga rendah untuk beberapa waktu yang akan datang. Meski demikian, lonjakan inflasi di AS berpotensi mendorong The Fed mengubah sikapnya.
Untuk saat ini, beberapa negara Asia Timur dan Pasifik yang tergolong rentan terdampak oleh taper tantrum adalah Indonesia, Kamboja, dan Malaysia. Ketiga negara ini memiliki utang korporasi berdenominasi valas yang cukup besar.
Selain akibat banyak utang luar negeri berdenominasi valas yang ditarik oleh korporasi, kerentanan negara Asia Timur dan Pasifik juga disebabkan dominannya investor asing yang menanamkan modal pada obligasi pemerintah berdenominasi mata uang domestik.
Serupa dengan taper tantrum pada 2013, kenaikan suku bunga acuan oleh The Fed berpotensi mendorong investor asing menjual obligasi berdenominasi mata uang domestik dan memperlemah nilai tukar. (sap)