Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji memaparkan materi dalam webinar bertajuk Reformasi Pajak di Tengah Pandemi: Tren Global dan Agenda Indonesia, Rabu (25/8/2021).
JAKARTA, DDTCNews - Reformasi pajak perlu dilakukan bukan hanya dikarenakan adanya pandemi Covid-19, melainkan adanya persoalan fundamental pajak yang perlu ditangani.
Partner of Tax Research & Training Services DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan persoalan tersebut berkaitan dengan ketersediaan dana domestik untuk membiayai pembangunan. Permasalahan ini terlihat dari kinerja tax ratio di Indonesia yang tergolong rendah di Asia Pasifik.
“Suatu krisis atau tekanan ekonomi selalu memunculkan agenda reformasi pajak. Instrumen fiskal digunakan banyak negara untuk memulihkan ekonomi. Namun, reformasi pajak bukan semata-mata gara-gara pandemi,” terang Bawono dalam webinar bertajuk Reformasi Pajak di Tengah Pandemi: Tren Global dan Agenda Indonesia, Rabu (25/8/2021).
Bawono menerangkan terdapat 3 aspek yang mempercepat reformasi pajak di Indonesia. Ketiga aspek tersebut meliputi masih dibutuhkannya stimulus untuk pemulihan ekonomi, terbatasnya daya tahan anggaran pemerintah, dan adanya pengalaman kondisi fiskal pada krisis sebelumnya.
Reformasi pajak di Indonesia, sambung Bawono, merupakan proses yang berkelanjutan. Saat ini, reformasi pajak berkaitan dengan revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). Bawono menyebut revisi UU KUP sebenarnya hanya bagian dari reformasi pajak karena saling menyokong dengan kebijakan lain.
Bawono menerangkan revisi UU KUP juga mencakup perubahan kebijakan di bidang pajak penghasilan (PPh), pajak pertambahan nilai (PPN), cukai, dan pajak karbon. Dalam kesempatan tersebut, Bawono juga menguraikan kaitan tren global dengan agenda reformasi di Indonesia.
Terkait dengan PPN, pemerintah berencana menerapkan skema multitarif, menaikan tarif, serta mengurangi pengecualian dan fasilitas PPN. Adapun skema multitarif dan kenaikan tarif PPN sejalan dengan tren global. Sementara itu, pengurangan pengecualian dapat menjamin prinsip netralitas PPN.
Berkaitan dengan PPh, pemerintah salah satunya berencana menyesuaikan tarif dan tax bracket PPh orang pribadi. Menurutnya, penyesuaian berkala diperlukan karena faktor inflasi serta menjamin ability to pay. Selain itu, ada wacana fringe benefit tax serta penguatan ketentuan antipenghindaran pajak.
Bawono selanjutnya menjelaskan tentang pajak solidaritas. Dia menyebut beberapa negara mulai menerapkan pajak solidaritas untuk burden sharing. Namun, Indonesia hingga saat ini masih belum menerapkan pajak solidaritas. Simak Fokus ‘Pajak, Solidaritas, dan Ketimpangan Pascapandemi’.
Dalam kesempatan itu, Bawono juga menjelaskan tentang perkembangan pajak digital. Dia juga membahas pengenaan pajak karbon serta penambahan objek cukai, orientasi reformasi pajak global di saat pandemi, tren kebijakan pajak saat pandemi, serta kaitan pajak dengan pemulihan ekonomi.
Webinar ini digelar Himpunan Mahasiswa Jurusan Akuntansi (Himaksi) Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Nasional (Unas). Webinar diselenggarakan bersamaan dengan penandatanganan nota kesepahaman antara DDTC dan FEB Unas. Simak ‘Giliran Universitas Nasional Teken Kerja Sama Pendidikan dengan DDTC’. (kaw)