Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji. (tangkapan layar)
JAKARTA, DDTCNews - Pengesahan UU Cipta Kerja diyakini akan membuat kebijakan pajak penghasilan (PPh) lebih kompetitif dalam menarik investasi.
Partner DDTC Fiscal Research B. Bawono Kristiaji mengatakan masuknya klaster perpajakan pada UU Cipta Kerja menjadi bagian dari langkah pemerintah melanjutkan reformasi pajak. Menurutnya, kebijakan pajak penghasilan (PPh) dalam UU Cipta Kerja juga memiliki peran penting dalam mendukung kemudahan berusaha. Hal ini mendukung dua agenda besar yang sedang berjalan, yakni pengembangan core tax system dan revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP).
"Kalau kita melihat agenda-agenda pemerintah, tidak bisa dilihat secara parsial. Perlu juga melihatnya secara umum dan komprehensifnya seperti apa," katanya dalam webinar Income Tax In Omnibus Law: Strategi Menuju Investasi dan Industri Berkualitas, Sabtu (21/8/2021).
Bawono mengatakan UU Cipta Kerja dapat menciptakan iklim usaha yang kondusif serta memberikan kepastian hukum kepada wajib pajak. Dia menjelaskan beleid itu memuat 7 aspek mengenai kebijakan PPh, 4 di antaranya berkaitan langsung dengan iklim investasi.
Pertama, rezim pajak bagi warga negara asing (WNA) berkeahlian khusus. WNA yang telah menjadi subjek pajak dalam negeri (SPDN) dikenai PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dengan ketentuan memiliki keahlian tertentu.
Â
Ketentuan ini selaras dengan tren perebutan sumber daya manusia (SDM) unggul. Sejumlah negara sudah lebih dulu menerapkan ketentuan tersebut, seperti rezim pesepakbola di Spanyol (Beckham Law) serta rezim periset dan pekerja pada bidang fashion di Italia.
Bawono menilai ketentuan itu akan mendukung iklim investasi ke depan, terutama pada area atau sektor yang masih membutuhkan keahlian tertentu dari SDM asing.
Kedua, pengecualian dividen dalam negeri dari objek PPh. Dividen dalam negeri yang diterima wajib pajak orang pribadi dalam negeri akan dikecualikan dari objek PPh sepanjang diinvestasikan di wilayah NKRI dalam jangka waktu tertentu. Sementara untuk dividen dalam negeri yang diterima wajib pajak badan dalam negeri langsung tidak dikenai PPh.
Ketiga, pengecualian dividen dan penghasilan yang berasal dari luar negeri dari pengenaan PPh. Ketentuan itu berlaku sepanjang dividen dan penghasilan tersebut diinvestasikan atau digunakan untuk mendukung kegiatan usaha lainnya di wilayah Indonesia dalam jangka waktu tertentu.
Menurut Bawono, Indonesia sebelumnya menerapkan worldwide tax system tetapi kini mulai bergeser ke arah territorial tax system secara hybrid. Langkah serupa juga dilakukan mayoritas negara OECD selama 2 dekade terakhir.
Keempat, penurunan tarif PPh Pasal 26 bunga obligasi. Tarif PPh Pasal 26 sebesar 20% dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang dapat diturunkan dengan peraturan pemerintah.
Selain aspek-aspek yang tertuang dalam UU Cipta Kerja, Bawono menambahkan investor atau wajib pajak juga membutuhkan kepastian dalam sistem pajak di Indonesia. Hal itu sejalan dengan laporan Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) dan International Monetary Fund (IMF) yang menggarisbawahi aspek kepastian sistem pajak menjadi komponen penting yang dipertimbangkan para investor baru maupun existing.
Menurut Bawono, isu kepastian sistem pajak justru jarang menjadi instrumen yang ditawarkan negara-negara di dunia kepada investor walaupun memiliki peranan besar. Bawono menilai hal itu terjadi karena proses membangun kepastian sistem pajak membutuhkan waktu yang jauh lebih lama ketimbang menawarkan berbagai insentif pajak.
"Upaya menjamin kepastian bukan hanya tentang hal yang dikelola Ditjen Pajak, tapi sampai hilirnya seperti pengadilan pajak dan Mahkamah Agung," ujarnya.
Bawono menambahkan Kementerian Keuangan mulai mengarahkan kebijakannya untuk mendorong kepastian dalam sistem pajak di Indonesia, seperti melalui pengembangan berbagai aplikasi layanan digital. Dia berharap cita-cita itu dapat segera terwujud untuk menciptakan sistem pajak yang berdaya saing, bersamaan dengan implementasi UU Cipta Kerja. (sap)