ADMINISTRASI PAJAK

Soal Teknologi Digital dan Administrasi Pajak, Ini Kata Sri Mulyani

Dian Kurniati
Rabu, 18 Agustus 2021 | 14.37 WIB
Soal Teknologi Digital dan Administrasi Pajak, Ini Kata Sri Mulyani

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (tangkapan layar Youtube)

JAKARTA, DDTCNews - Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyebut kehadiran teknologi digital berpotensi menyebabkan kerumitan administrasi pajak jika tidak disertai kebijakan yang tepat.

Sri Mulyani mengatakan Kementerian Keuangan, terutama Ditjen Pajak (DJP), perlu memahami makna kehadiran teknologi digital serta implikasi yang ditimbulkan. Sifat kegiatan ekonomi lintas negara juga akan menyebabkan penyusunan kebijakan dan administrasi pajak sangat kompleks.

“Dengan teknologi digital maka akan memunculkan juga kerumitan dalam pengadministrasian perpajakan," katanya dalam DJP IT Summit, Rabu (18/8/2021).

Sri Mulyani mengatakan semua negara di dunia terus berkoordinasi dan membahas kebijakan pajak sebagai respons atas kegiatan ekonomi yang muncul karena digitalisasi. Pajak dari kegiatan ekonomi tersebut akan menjadi tambahan penerimaan yang dibutuhkan, terutama di tengah pandemi Covid-19.

Dia menjelaskan semua negara telah menggunakan APBN sebagai instrumen untuk menangani pandemi Covid-19 sekaligus melindungi ekonomi masyarakat. Oleh karena itu, pada saat ini, semua negara sama-sama berjuang untuk menyehatkan kembali APBN.

Seperti Indonesia, penyehatan APBN atau konsolidasi fiskal tidak hanya dilakukan dengan mengendalikan belanja dan melakukan inovasi pembiayaan. Pasalnya, salah satu kunci penting dalam konsolidasi tersebut yakni peningkatan pendapatan negara, terutama pajak.

"Kita terus berkoordinasi antarotoritas pajak di seluruh dunia karena semua negara dunia juga menghadapi Covid-19," ujarnya.

Di bawah koordinasi Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) negara-negara di dunia tengah berupaya mencapai kesepakatan atas proposal Pilar 1: Unified Approach dan Pilar 2 Global Anti-Base Erosion.

Pilar 1 memuat hak pemajakan atas laba korporasi multinasional, termasuk perusahaan digital. Sementara Pilar 2 memuat pemberlakuan pajak korporasi minimum global dengan tarif paling tidak sebesar 15% untuk melindungi basis pemajakan di setiap yurisdiksi.

Aspek-aspek yang belum selesai dibahas pada Pilar 1 dan Pilar 2 ditargetkan bisa disepakati pada Oktober 2021. Multilateral treaty atas kedua pilar tersebut ditargetkan dapat ditandatangani pada 2022 sehingga implementasinya dapat dimulai pada 2023.

Pembahasan mengenai proposal Pilar 1 dan Pilar 2 yang telah disepakati dalam pertemuan para menteri keuangan dan gubernur bank sentra negara-negara G-20 dapat Anda baca juga dalam Fokus Selangkah Lagi Mencapai Konsensus Global Pajak Digital. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
user-comment-photo-profile
Annisa Syahfitri Meizarini Zulkarnaini
baru saja
Pajak dari kegiatan ekonomi akan menjadi tambahan penerimaan yang dibutuhkan, terutama di tengah pandemi Covid-19.