Ketua BPK Agung Firman Sampurna dalam sidang paripurna DPR, Selasa (22/6/2021). (tangkapan layar Youtube)
JAKARTA, DDTCNews – Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2020, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyoroti kerentanan utang pemerintah.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan kerentanan utang tersebut berkaitan erat dengan kesinambungan fiskal pemerintah. Menurutnya, tren penambahan utang pemerintah dan biaya bunga telah melampaui pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) dan penerimaan negara sehingga ada kekhawatiran negara tidak mampu untuk membayarnya.
"Memunculkan kekhawatiran terhadap penurunan kemampuan pemerintah untuk membayar utang dan bunga utang," katanya dalam rapat paripurna DPR, Selasa (22/6/2021).
Agung mengatakan pemerintah telah menyusun analisis keberlanjutan fiskal jangka panjang atau long term fiscal sustainability report dengan mempertimbangkan skenario kebijakan fiskal yang akan diambil dan indikator yang dipantau. BPK melakukan kajian atas laporan kesinambungan fiskal tersebut.
Pada 2020, realisasi pendapatan negara senilai Rp1.647,78 triliun atau mencapai 96,93% dari target. Sementara itu, realisasi belanja negara tercatat Rp2.595,48 triliun atau 94,75% dari pagu. Dengan realisasi tersebut, defisit anggaran senilai Rp947,70 triliun atau 6,14% terhadap PDB.
BPK, sambungnya, membandingkan angka defisit tersebut dengan realisasi pembiayaan yang lebih tinggi, yakni mencapai Rp1.193,29 triliun atau 125,91% dari nilai defisit. Oleh karena itu, sisa lebih pembiayaan anggaran (Silpa) pada 2020 tercatat senilai Rp245,59 triliun.
Realisasi pembiayaan pada 2020 diperoleh dari penerbitan surat berharga negara, pinjaman dalam negeri, dan pembiayaan luar negeri senilai Rp1.255,99 triliun. "Berarti pengadaan utang tahun 2020 melebihi kebutuhan pembiayaan untuk menutup defisit," ujarnya.
Dia menambahkan pandemi Covid-19 telah menyebabkan peningkatan defisit anggaran, utang, serta Silpa yang berdampak pada peningkatan risiko pengelolaan fiskal.
Meski rasio defisit dan utang terhadap PDB masih di bawah rasio yang ditetapkan dalam Perpres 72/2020 dan UU Keuangan Negara, BPK menyoroti tren peningkatan yang perlu diwaspadai pemerintah. Apalagi, pemerintah harus mengembalikan rasio defisit kembali di bawah 3% pada 2023.
BPK juga menyebut utang pemerintah pada 2020 telah melampaui batas yang direkomendasikan International Monetary Fund (IMF) dan International Debt Relief (IDR). Rasio debt service terhadap penerimaan negara tercatat sebesar 46,77%, melampaui rekomendasi IMF sekitar 25%-35%.
Selain itu, rasio pembayaran bunga terhadap penerimaan negara yang sebesar 19,06% juga melampaui rekomendasi IDR dan IMF, yakni masing-masing berkisar 4,6%-6,8% dan 7%-19%. Adapun pada rasio utang terhadap penerimaan sebesar 369% juga sudah melampaui rekomendasi IDR dan IMF, yakni masing-masing sebesar 92%-167% dan 90%-150%. (kaw)