PEMERINTAH berencana mengurangi pengecualian pajak pertambahan nilai (PPN). Perluasan basis dengan mengenakan PPN atas barang dan jasa yang saat ini dikecualikan dan diberikan fasilitas menjadi salah satu alternatif untuk membiayai APBN.
Upaya konsolidasi fiskal pascapandemi Covid-19 menjadi salah satu faktor pendorongnya. Defisit anggaran harus kembali di bawah 3% produk domestik bruto (PDB) pada 2023. Terlebih, berbagai organisasi internasional telah sejak lama menyerukan pengurangan pengecualian PPN.
Lantas, bagaimana sebenarnya sejarah pengecualian PPN di Indonesia? Untuk mengetahuinya, DDTC Fiscal Research telah mengolah data dan informasi dari UU PPN serta buku Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai.
Sebagai informasi buku tersebut ditulis Managing Partner DDTC Darussalam, Senior Partner DDTC Danny Septriadi, Manager of Research & Training Services DDTC Khisi Armaya Dhora. Anda juga bisa men-download versi e-book buku tersebut.
Berikut ini perkembangan pengecualian PPN di Indonesia.
UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
- Disahkan pada 31 Desember 1983 dan mulai berlaku efektif per 1 Juli 1984.
- Belum memberikan penjabaran mengenai jenis-jenis objek pajak (barang dan jasa) yang dikenai atau tidak dikenai PPN. Selain itu, definisi barang kena pajak (BKP) dalam UU PPN 1984 hanya mencakup pada barang berwujud, baik yang sifatnya bergerak maupun tidak bergerak. Untuk definisi jasa kena pajak (JKP) sendiri masih diartikan secara luas.
- Dalam Pasal 4 ayat (2), penentuan jenis objek PPN didelegasikan kepada pemerintah melalui peraturan pemerintah (PP).
UU Nomor 11 Tahun 1994 tentang Perubahan atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
- Disahkan pada 9 November 1994 dan mulai berlaku efektif per 1 Januari 1995.
- Pasal 4 ayat (2) mengenai pemberlakuan PPN terhadap semua penyerahan BKP dan pengaturan penyerahan jenis-jenis jasa yang dikenakan PPN melalui PP dihapus. Adanya penambahan pasal baru yaitu Pasal 4A yang menyatakan jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak ditetapkan dengan PP.
- Sinyal dimulainya skema negative list. Artinya, seluruh barang dan jasa dikenakan PPN, kecuali yang ditetapkan sebaliknya.
UU Nomor 18 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
- Disahkan pada 2 Agustus 2000 dan mulai berlaku efektif per 1 Januari 2001.
- Terdapat perubahan pada Pasal 4A. Dalam Pasal 4A diatur mengenai jenis barang dan jasa yang tidak dikenai PPN. Dalam UU ini, walaupun jenisnya ditetapkan pemerintah, penetapan non-objek PPN harus didasarkan pada kelompok-kelompok barang dan jasa yang diatur dalam Pasal 4A ayat (2) dan (3). Mulai saat itu, UU PPN telah menerapkan sistem negative list.
- Berdasarkan pada Pasal 4A ayat (2) dan (3), terdapat 4 kelompok barang dan 12 kelompok jasa yang dikecualikan dari PPN.
UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
- Disahkan pada 15 Oktober 2009 dan mulai diberlakukan per 1 April 2010.
- Sistem negative list PPN makin diperkuat. Hal ini ditunjukkan melalui pengaturan yang lebih jelas atas kelompok dan jenis non-BKP dan non-JKP yang diatur dalam Pasal 4A. Ketentuan penetapan jenis barang dan jasa yang tidak dikenai PPN yang semula ditetapkan melalui PP dihapus. Bagian penjelasan Pasal 4A ayat (2) memberikan penjelasan lebih terperinci jika dibandingkan UU PPN sebelumnya.
- Berdasarkan pada Pasal 4A ayat (2) dan (3), terdapat 4 kelompok barang dan 17 kelompok jasa yang dikecualikan dari PPN.
UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja
- Berlaku sejak 2 November 2020 hingga saat ini.
- Satu-satunya perubahan mengenai pengecualian PPN terletak pada Pasal 4A ayat (2) huruf a, yang kini turut mengenakan PPN atas hasil pertambangan batu bara walaupun merupakan barang hasil pertambangan yang diambil langsung dari sumbernya.
Simak beberapa infografis mengenai pengecualian PPN di sini. Adapun kali ini, rencana pengurangan pengecualian PPN akan dimasukkan dalam rancangan revisi UU Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) yang sudah menjadi salah satu Program Legislasi Nasional (Prolegnas). (kaw)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.