Ilustrasi. (foto: nccourts.gov)
JAKARTA, DDTCNews – Pengadilan Negeri Jakarta Barat menggugurkan permohonan praperadilan yang diajukan pemohon TFC yang merupakan istri tersangka broker faktur pajak fiktif LKH. Putusan dengan nomor perkara 2/Pid.Pra/2021/PN.Jkt.Brt.
Pemohon TFC menggugat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) Direktorat Penegakan Hukum Kantor Pusat Ditjen Pajak (DJP). Pemohon TFC menyatakan penetapan tersangka dan penahanan LKH tidak memenuhi syarat formal dan material sesuai dengan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dalam proses persidangan, sebagai termohon, PPNS Direktorat Penegakan Hukum DJP menjelaskan bahwa persidangan pokok perkara atas nama LKH telah berjalan dengan nomor perkara 212/Pid.Sus/2021/PN.Jkt.Brt.
Di samping itu, proses pemeriksaan bukti permulaan, penyidikan dan penetapan tersangka yang dilakukan terhadap diri LKH telah dilaksanakan sesuai dengan prosedur dan kewenangan berdasarkan pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Selain itu, penetapan LKH sebagai tersangka juga telah didukung dengan minimal dua alat bukti yang sah dan disertai pemeriksaan calon tersangka,” demikian informasi yang dimuat di laman resmi DJP, dikutip pada Senin (5/4/2021).
Sebelum memberikan putusan, hakim juga menyampaikan beberapa pertimbangan hukum mengenai ruang lingkup praperadilan sesuai denganPasal 82 ayat (1) huruf d KUHAP, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 102/PUU-XIII/2015, dan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016.
Peraturan-peraturan tersebut menyebutkan permohonan praperadilan harus dinyatakan gugur dalam hal sidang pokok perkara telah dimulai. Hakim menyatakan permohonan praperadilan yang diajukan pemohon gugur. Dengan gugurnya permohonan praperadilan yang diajukan, proses penegakan hukum pajak atas LKH terus dilanjutkan.
Dalam perkara ini, LKH diduga menjadi perantara atau broker dalam penerbitan faktur pajak yang tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya atau faktur pajak fiktif sejak 2011 hingga 2013. Akibat perbuatan LKH, negara dirugikan senilai Rp3,24 miliar.
Perbuatan LKH tersebut disangkakan Pasal 39A jo. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang (UU) Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP). LKH dapat dijatuhi hukuman pidana penjara paling singkat 2 tahun dan paling lama 6 tahun serta denda paling sedikit 2 kali dan paling banyak 4 kali dari jumlah pajak yang seharusnya dibayar.
“DJP terus melaksanakan upaya penegakan hukum yang kolaboratif, berintegritas, dan adil sesuai dengan prosedur dan kewenangan yang diberikan dalam peraturan perundang-undangan,” imbuh DJP. (kaw)