KEBIJAKAN PAJAK

Ini Saran 3 Kebijakan Pajak 2021 dari Pakar

Muhamad Wildan
Kamis, 04 Februari 2021 | 12.27 WIB
Ini Saran 3 Kebijakan Pajak 2021 dari Pakar

Managing Partner DDTC Darussalam saat memaparkan materi dalam KPAJ IAI Goes to Campus bertajuk Economic and Taxation Outlook 2021 yang diselenggarakan LPEM FEB UI, Kamis (4/2/2021). (tangkapan layar Youtube)

JAKARTA, DDTCNews – Kebijakan pajak pada 2021 perlu difokuskan pada pemajakan atas aktivitas ekonomi digital, peningkatan kepatuhan wajib pajak kaya atau high net worth individual (HNWI), dan pengurangan tax gap.

Managing Partner DDTC Darussalam mengatakan pemajakan atas ekonomi digital memiliki potensi yang amat besar bagi Indonesia, baik dari sisi pajak pertambahan nilai (PPN) maupun pajak penghasilan (PPh).

"Untuk PPN sudah diterapkan oleh pemerintah melalui PMK 48/2020. Sekarang kita tinggal menunggu PPh-nya. Apakah Indonesia akan menunggu konsensus atau akan mengenakan secara unilateral," ujar Darussalam dalam KPAJ IAI Goes to Campus bertajuk Economic and Taxation Outlook 2021 yang diselenggarakan LPEM FEB UI, Kamis (4/2/2021).

Menurutnya, pengenaan PPh atas aktivitas ekonomi digital perlu dikenakan bukan hanya untuk menarik penerimaan pajak yang potensinya besar. Pengenaan PPh tersebut juga penting untuk menciptakan perlakuan pajak yang adil.

"Jangan sampai Indonesia puasa dari PPh digital ini karena bagaimanapun ini penerimaannya cukup signifikan bukan hanya dari jumlahnya, tapi bagaimana ada perlakuan pajak yang fair. Kalau ada penghasilan besar seharusnya membayar pajak di tempat penghasilan itu bersumber," ujarnya.

Selain pemajakan atas ekonomi digital, Darussalam memandang pengenaan pajak yang lebih optimal terhadap HNWI perlu menjadi fokus pemerintah. Apalagi, kinerja penerimaan PPh orang pribadi (OP) pada masa pandemi tahun lalu justru tumbuh.

Peran PPh OP terhadap penerimaan pajak secara keseluruhan perlu ditingkatkan mengingat struktur pajak Indonesia saat ini masih berbanding terbalik bila dibandingkan dengan negara-negara maju. Di negara maju, PPh OP justru memiliki realisasi yang berkali-kali lipat lebih besar bila dibandingkan dengan PPh badan.

Selain itu, pemerintah juga perlu berupaya untuk mengurangi tax gap yang timbul. Salah satunya adalah dengan mengevaluasi penerapan PPh final yang banyak diberlakukan oleh pemerintah pada sektor-sektor tertentu.

Darussalam mengatakan secara teoretis, PPh final memang cenderung lebih mudah dipungut oleh pemerintah. Hanya saja, rezim PPh final sesungguhnya adalah kebijakan sementara mengingat PPh final adalah kebijakan pajak yang berbasis gross, bukan neto. Dengan demikian, kebijakan PPh final sesungguhnya harus dievaluasi secara terus-menerus setiap tahun.

"Dari sisi keadilannya dan kepantasannya, kita bisa melihat mana sektor yang masih pantas diberikan PPh final, mana yang harus dicabut. Ini PR (pekerjaan rumah) kita bersama untuk mengubah struktur penerimaan kita,” imbuhnya.

Dalam acara itu, Darussalam juga mengatakan perlunya untuk mengedepankan advance pricing agreement (APA) dan mutual agreement procedure (MAP) sebagai solusi penyelesaian sengketa terkait dengan transfer pricing.

"Jangan sampai transfer pricing itu dibawa ke pengadilan pajak. Transfer pricing itu range, bukan harga pasti. Jadi, kalau sampai dispute ke pengadilan pajak maka kedua belah pihak rugi," ujarnya. (kaw)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.