KONSENSUS OECD

Soal Target Konsensus Pajak Digital, Begini Kata Kemenkeu

Dian Kurniati
Sabtu, 02 Januari 2021 | 06.01 WIB
Soal Target Konsensus Pajak Digital, Begini Kata Kemenkeu

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara. (Foto: DDTCNews)

JAKARTA, DDTCNews - Kementerian Keuangan optimistis Organization for Economic Cooperation and Development (OECD) dapat mencapai konsensus atas proposal Pillar 1: Unified Approach dan Pillar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE) pada pertengahan 2021.

Wakil Menteri Keuangan Suahasil Nazara mengatakan negosiasi mengenai pajak digital antara negara produsen dan konsumen bukan hal mudah. Meski demikian, dia menilai masih ada waktu bagi Inclusive Framework untuk menyelesaikan semua perdebatan.

"Dia [konsensus] bukan sesuatu yang akan cepat, kemudian ada solusi. Moga-moga tahun depan kelihatan ada formula yang bisa disepakati, diratifikasi, dan kemudian tax authority masing-masing bisa menerapkan," katanya dalam wawancara khusus DDTCNews, dikutip Rabu (30/12/2020).

Suahasil mengatakan pemerintah telah menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1/2020 yang kemudian diundangkan dengan UU No.2/2020, yang antara lain mengatur pengenaan pajak digital.

Saat ini pemerintah sudah memulai memungut pajak pertambahan nilai (PPN) atas produk digital dalam perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE), tetapi pengenaan pajak penghasilan (PPh) atau pajak transaksi elektronik (PTE) harus menunggu konsensus OECD.

Dia membandingkan upaya mencapai konsensus pajak digital tersebut dengan kerja sama antarnegara mengatasi praktik penghindaran, penggelapan, dan perencanaan pajak yang agresif (base erosion and profit shifting/BEPS).

Menurutnya, kedua hal itu sama-sama diawali dengan perselisihan antarnegara, tetapi pada akhirnya harus ada kesepakatan agar semua pihak tidak ada yang merasa dirugikan.

Suahasil pun turut mengamati aksi unilateral beberapa negara yang cenderung tidak sabar menanti konsensus OECD untuk menarik pajak digital, seperti Inggris, Prancis, dan Spanyol.

Namun bagi Indonesia, pengenaan pajak digital hanya berlaku jika perusahaannya menjadi bentuk usaha tertentu (BUT). "Itu kesepakatannya antara satu yurisdiksi dan dunia usaha. Kalau kita punya payung yang lebih besar, akan lebih enak," ujarnya.

Suahasil menambahkan pandemi Covid-19 membuat pajak digital semakin mendesak. Karena itu, walaupun pemerintah menunggu konsensus OECD, bukan berarti Indonesia tidak memiliki punya mekanisme untuk mengenakan pajak digital, karena telah ada mekanisme BUT.

Sebelumnya, OECD sepakat memundurkan jadwal pembahasan untuk mencapai konsensus atas proposal Pillar 1: Unified Approach dan Pillar 2: Global Anti Base Erosion (GloBE), dari yang semula ditargetkan tahun ini.

OECD mempertimbangkan pandemi Covid-19 dan masih adanya perdebatan yang belum selesai di antara negara anggota Inclusive Framework dalam menyikapi proposal tersebut. (Bsi)

Editor :
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.