Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
JAKARTA, DDTCNews – Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengungkapkan selalu memperoleh temuan mengenai kelemahan dalam penatausahaan piutang perpajakan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK).
Sri Mulyani mengatakan pemerintah terus berupaya membenahi sistem pengendalian intern mengenai penatausahaan piutang perpajakan. Salah satunya dengan mengimplementasikan Revenue Accounting System (RAS) secara nasional mulai 1 Juli 2020.
Dia pun berharap ke depannya, BPK tidak lagi memberikan temuan mengenai penatausahaan piutang perpajakan pada Ditjen Pajak (DJP) serta Ditjen Bea dan Cukai (DJBC).
"Kami berharap RAS ini akan betul-betul meng-address isu pajak yang memang selama saya menjadi Menteri Keuangan berkali-kali BPK menyampaikan pertanyaan dan temuan mengenai hal ini," katanya dalam rapat kerja bersama Komisi XI DPR, Rabu (26/8/2020).
Sri Mulyani menyebut salah satu temuan signifikan dari BPK adalah mengenai sistem pengendalian intern dalam penatausahaan piutang perpajakan. BPK menilai penatausahaan piutang perpajakan pada DJP masih memiliki kelemahan dan penatausahaan piutang pada DJBC dianggap belum optimal.
Dia menjelaskan penerapan RAS itu diharapkan mampu memutakhirkan dan memvalidasi data piutang pada setiap transaksi, sehingga saldo piutang dapat diketahui secara real time. Menurutnya, saldo piutang yang terlalu besar justru menunjukkan angkanya tidak akurat.
"Kami berharap piutang akan mencerminkan kondisi yang paling update dan terkini, sehingga tidak menimbulkan potensi yang berlebihan atau angka-angka yang terlalu besar yang tidak menunjukkan akurasinya," ujarnya.
Selain menjalankan RAS pada DJP, Kementerian Keuangan juga sedang dalam proses menyusun prosedur operasi standar (standard operating procedure/SOP) mengenai pencatatan dan mutasi piutang pada DJBC. Pencatatan mencakup berbagai dokumen pelengkap atas impor sementara yang masih terutang bea masuk dan pajak dalam rangka impornya.
Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menegaskan pemerintah tetap akan menindaklanjuti temuan dan rekomendasi BPK meskipun temuan itu tidak memengaruhi kewajaran laporan keuangan pemerintah pusat (LKPP) 2019. Menurutnya, tindak lanjut tersebut merupakan upaya agar sistem pengendalian intern dan kepatuhan terhadap perundang-undangan semakin baik.
Dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas LKPP 2019, BPK kembali menyoroti saldo piutang perpajakan bruto pada neraca pemerintah pusat tahun anggaran 2019 (audited) yang mencapai Rp94,69 triliun. Piutang itu naik 16,22% dibandingkan dengan tahun sebelumnya Rp81,47 triliun.
BPK menilai sistem pengendalian intern dalam penatausahaan piutang perpajakan masih memiliki kelemahan, baik pada DJP maupun DJBC. Sampai 31 Desember 2019, saldo piutang perpajakan pada DJP senilai Rp72,63 triliun, sedangkan pada DJBC senilai Rp22,06 triliun. (kaw)