Sales Area Manager Retail Bandung PT. Pertamina Sylvia Grace Yuvenna (kedua kanan) meninjau petugas dalam mengisi BBM pada unit Pertashop di Gununghalu Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Rabu (15/7/2020). Ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri mendesak pemerintah menambahkan bahan bakar minyak (BBM) fosil sebagai barang kena cukai. (ANTARA FOTO/Novrian Arbi/foc)
JAKARTA, DDTCNews - Ekonom sekaligus mantan Menteri Keuangan Muhammad Chatib Basri mendesak pemerintah menambahkan bahan bakar minyak (BBM) fosil sebagai barang kena cukai.
Chatib menilai pengenaan cukai tersebut akan mengurangi konsumsi BBM fosil sehingga menciptakan lingkungan yang lebih bersih. Adapun mengenai cukai terkumpul, menurutnya bisa manfaatkan untuk memberi insentif pada energi terbarukan atau belanja lainnya.
"Sebaiknya ini jangan Bea Cukai yang mengusulkan, biar saya saja yang mengusulkan. Karena kalau Bea Cukai yang mengusulkan nanti jadi sensitif," katanya dalam webinar Cakap Cukai, seperti dikutip Jumat (7/8/2020).
Chatib mengatakan penerapan cukai pada BBM fosil tersebut bahkan bisa dimulai saat pandemi virus Corona, bertepatan dengan harga minyak dunia yang turun. Dengan penurunan harga minyak dunia, harga BBM fosil di dalam negeri otomatis akan ikut murah.
Dalam situasi itulah, menurut Chatib bisa langsung memungut cukai sesuai selisih dari penurunan harga BBM fosil, tanpa berefek pada kenaikan harga yang dibayarkan masyarakat.
Dia memperkirakan tarif cukai untuk BBM fosil bisa dipatok sebesar Rp1.000 per liter. Jika konsumsi BBM fosil sebanyak 60 juta kiloliter, berarti potensi penerimaan cukainya mencapai Rp60 triliun.
Menurut Chatib, penerimaan cukai dari BBM fosil tersebut bisa digunakan untuk membiayai berbagai belanja sosial, yang sangat dibutuhkan untuk mengerek daya beli masyarakat di tengah pandemi virus Corona.
Di sisi lain, Chatib juga menyarankan pengenaan cukai untuk setiap pembelian kendaraan bermotor untuk menggantikan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM).
Menurutnya skema pengenaan cukai lebih efektif dibanding pajak karena tujuannya untuk mengendalikan konsumsi barang yang berpotensi merusak lingkungan.
Dia menilai skema pajak tidak cukup fleksibel mendefinisikan barang yang dinilai mewah karena akan terus berubah seiring zaman. "Cukai ini bisa disebut sebagai luxury tax, tidak perlu pakai PPnBM. Karena sebetulnya pajak barang mewah secara konsep itu konsep yang old school," ujarnya.
Sebelumnya Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati juga sempat mengungkapkan wacana penggantian pengenaan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) atas kendaraan bermotor menjadi cukai emisi karbon. Hingga saat ini, DJBC terus mengkaji wacana tersebut.
DJBC bahkan telah menyiapkan dua pilihan skema untuk pengenaan cukai karbon, dengan mencontoh negara-negara lain. Skema pertama, dilakukan oleh banyak negara dengan menarik cukai karbon hanya pada setiap pembelian kendaraan bermotor baru.
Adapun skema kedua seperti yang berlaku di Inggris, menarik cukai karbon setiap tahun lantaran kendaraan terus memproduksi karbon setiap kali digunakan.
Rencana perubahan PPnBM menjadi cukai juga perlu dikonsultasikan kepada DPR. Pasalnya, Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang Pajak Pertambahan Nilai (PPN) memuat ketentuan pemungutan PPnBM yang dilakukan setiap pembelian kendaraan baru. (Bsi)
Cek berita dan artikel yang lain di Google News.