Ilustrasi. Umat Muslim melaksanakan salat Jumat di Masjid Nabawi dengan tetap menerapkan jarak sosial, ditengah wabah penyakit virus corona (Covid-19), di Madinah, Arab Saudi, Jumat (5/6/2020). ANTARA FOTO/Saudi Press Agency/Handout via REUTERS/pras/djo
JAKARTA, DDTCNews – Otoritas fiskal telah menerbitkan PMK 92/2020 terkait dengan kriteria dan/atau rincian jasa keagamaan yang tidak dikenai pajak pertambahan nilai (PPN). Peraturan ini berlaku setelah 30 hari sejak tanggal diundangkan, yaitu 23 Juli 2020.
Ditjen Pajak (DJP) dalam laman resminya mengatakan ada konsekuensi publik dari diterbitkannya PMK ini. Pasalnya, PMK 92/2020 akan memberikan kepastian hukum mengenai perlakuan PPN atas jasa penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang diserahkan oleh biro perjalanan wisata.
“Dan tentunya mendukung keberlanjutan bisnis usaha biro perjalanan wisata pada umumnya dan penyelenggara perjalanan ibadah haji dan umrah khususnya,” demikian pernyataan DJP, Selasa (28/7/2020).
Otoritas mengatakan ada beberapa hal yang melatarbelakangi penerbitan beleid ini. Pertama, terdapat perbedaan pemahaman di lapangan mengenai pengenaan PPN atas jasa penyelenggaraan ibadah haji dan umrah yang diserahkan oleh biro perjalanan wisata.
Masih ada kebingunan terkait dengan apakah jasa penyelenggaraan ibadah haji dan umrah termasuk jasa keagamaan yang tidak dikenai PPN berdasarkan Pasal 4A ayat (3) huruf f Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009 (UU PPN) atau termasuk jasa yang dikenai PPN.
Kedua, belum adanya PMK yang mengatur mengenai kriteria dan/atau rincian jasa keagamaan yang tidak dikenai PPN sebagaimana dimanahkan dalam Pasal 7 Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2012.
Ketiga, telah terbit Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah yang mengatur penyelenggaraan perjalanan haji dan ibadah umrah merupakan kegiatan ibadah keagamaan.
Keempat, merebaknya wabah Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) di seluruh dunia menyebabkan penghentian untuk sementara penyelengaraan ibadah umrah oleh pemerintah Arab Saudi. Hal ini berdampak negatif terhadap keberlanjutan bisnis usaha biro perjalanan.
“Biro perjalanan wisata pada umumnya dan penyelenggara perjalanan ibadah haji dan umrah khususnya,” imbuh DJP. (kaw)