Tampilan depan Policy Note bertajuk ‘Omnibus Law Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian: Suatu Catatan’.
JAKARTA, DDTCNews – Merespons perlambatan ekonomi dewasa ini, pemerintah bermaksud menggunakan instrumen perpajakan yang bersifat countercyclical. Salah satunya melalui RUU Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian. Sayangnya, seluk beluk omnibus law perpajakan tersebut belum banyak dinarasikan dalam ranah publik.
Tidak setiap pemangku kepentingan di sektor perpajakan memahami relevansi, perdebatan, justifikasi, serta berbagai pertimbangan dalam desain RUU tersebut. Mempertimbangkan hal tersebut, DDTC Fiscal Research merilis Policy Note bertajuk ‘Omnibus Law Ketentuan dan Fasilitas Perpajakan untuk Penguatan Perekonomian: Suatu Catatan’ yang dirilis hari ini, Senin (9/3/2020). Untuk memperoleh kajian tersebut, silakan download di sini.
Dokumen yang disusun oleh Managing Partner DDTC Darussalam, Senior Partner Danny Septriadi, dan Partner Fiscal Research DDTC B. Bawono Kristiaji ini berupaya memberikan assessment awal dalam format catatan kebijakan. Tujuannya tak lain agar menciptakan informasi simetris, memperkaya ruang pemikiran, serta mendorong pembahasan omnibus law secara konstruktif.
Dalam tanggapan umum atas omnibus law perpajakan, DDTC Fiscal Research mengulas kontekstualisasi omnibus law pada situasi ekonomi dan perpajakan Indonesia terkini. Indonesia juga tidak sendirian. Langkah serupa juga telah ditunjukkan oleh berbagai negara melalui reformasi perpajakan yang bersifat relaksasi dan dilakukan secara cepat.
Namun demikian, untuk menyeimbangkan berbagai relaksasi tersebut, diperlukan suatu strategi Relaksasi-Partisipasi. Relaksasi harus dilakukan secara bersyarat dan mengharapkan timbal balik berupa partisipasi wajib pajak dalam menggerakkan ekonomi dan perbaikan sistem perpajakan.
Dokumen ini juga mengulas setiap pokok-pokok pengaturan yang terbagi dalam empat kluster yang sebelumnya sudah disampaikan oleh Kementerian Keuangan. Keempatnya adalah meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai negara tujuan investasi, meningkatkan keadilan dan kesetaraan berusaha, meningkatkan kualitas sumber daya manusia, dan mendorong kepatuhan pajak sukarela.
Tiap pokok pengaturan dibahas secara padat, mendalam, dan ringkas. Mulai dari penurunan tarif hingga relaksasi pengkreditan PPN. Dari rezim baru pemajakan dividen hingga penambahan barang kena cukai. Pro-kontra setiap pokok pengaturan dibahas secara teoritis dan empiris yang dirangkum berdasarkan lebih dari 100 literatur.
Sebagai contoh, terkait dengan penurunan tarif PPh Badan. Walau rentan dengan perdebatan, “… Tekanan tren penurunan tarif PPh Badan mau tidak mau mendorong Indonesia untuk secara gradual dan terukur mengikuti langkah tersebut sebagai cara signalling bahwa Indonesia memiliki intensi untuk berdaya saing di tataran global,” demikian nukilan dari Policy Note tersebut.
DDTC Fiscal Research juga turut menggarisbawahi perlunya segera mempersiapkan peraturan teknis lanjutan dari omnibus law perpajakan untuk menjamin implementasi yang berkepastian hukum. Misalkan, ‘rambu-rambu’ mengenai syarat investasi dalam negeri ataupun rumusan bagi pemajakan atas Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE).
Adapun sebagai penutup, Policy Note ini mengulas kebutuhan perluasan basis pajak yang efektif dan terukur seperti halnya telah tertera dalam Renstra Ditjen Pajak 2020-2024. Mitigasi risiko fiskal pun bisa dilakukan melalui desain kebijakan yang berlandaskan semangat Relaksasi-Partisipasi. Terakhir dan terpenting, keberhasilan efektivitas omnibus law perpajakan hanya dimungkinkan selama ada dukungan dari seluruh pemangku kepentingan.
Melalui Policy Note ini, DDTC Fiscal Research ingin membangun budaya diskusi yang konstruktif terhadap perumusan kebijakan perpajakan yang partisipatif dan berbobot. Harapannya agar terwujud omnibus law perpajakan yang ideal, berdaya guna bagi penguatan ekonomi kita, membawa sistem perpajakan Indonesia menjadi lebih baik lagi, dan tentunya harus bermanfaat bagi seluruh masyarakat Indonesia. Semoga terwujud Pajak Kuat Indonesia Maju.