Dirjen Bea dan Cukai Askolani.
JAKARTA, DDTCNews - Dirjen Bea dan Cukai Askolani menyatakan pelaksanaan kebijakan penambahan barang kena cukai (BKC) akan mempertimbangkan kondisi perekonomian masyarakat.
Askolani mengatakan perekonomian nasional sedang dihadapkan pada besarnya ketidakpastian akibat kebijakan tarif di Amerika Serikat. Pemerintah pun belum berencana melakukan ekstensifikasi BKC pada tahun ini, termasuk untuk cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK).
"Belum tahu, nanti kita lihat [perkembangan perbincangan soal cukai MBDK]. Pokoknya nanti kalau pun mau, itu pasti pemerintah sampaikan, tetapi sementara belum ada," ujarnya, dikutip pada Kamis (8/5/2025).
Askolani mengatakan belum ada pembicaraan lebih lanjut mengenai rencana pengenaan cukai MBDK. Oleh karena itu, DJBC juga belum menyusun regulasi teknis yang diperlukan untuk penerapannya.
Sebagaimana diatur dalam UU Cukai s.t.d.t.d UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP), penambahan atau pengurangan objek cukai cukup diatur dalam peraturan pemerintah (PP) setelah dibahas dan disepakati dengan DPR dalam penyusunan APBN. Adapun untuk ketentuan teknisnya akan diatur dalam peraturan menteri keuangan (PMK).
"Belum ada PMK, nanti kita lihat perkembangannya. Kita harus punya sensitivitas ya saat ini kita fokus untuk menghadapi tarif," ucap Askolani.
Rencana ekstensifikasi BKC yang beberapa tahun tertunda mendapat sorotan dari sejumlah anggota DPR. Ketua Komisi XI DPR Misbakhun menyatakan parlemen telah memberikan dukungan politik kepada pemerintah untuk segera menambah objek cukai seperti minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), tetapi belum terealisasi hingga saat ini.
Pemerintah telah mewacanakan pengenaan cukai MBDK dan menyampaikannya kepada DPR pada awal 2020. Pemerintah dan DPR kemudian mematok target penerimaan cukai MBDK untuk pertama kalinya pada APBN 2022 senilai Rp1,5 triliun.
Setelahnya, target cukai MBDK rutin masuk dalam APBN. Pada APBN 2025, cukai MBDK ditargetkan senilai Rp3,8 triliun.
"Apa hambatan Bapak sehingga merasa seperti ada barrier, ada hambatan-hambatan teknis, untuk mewujudkan itu? Padahal dukungan politiknya sudah ada," katanya.
Sementara itu, Anggota Komisi XI Fathi menilai pemerintah perlu segera pengenaan cukai atas MBDK dan makanan yang mengandung tinggi gula, garam, dan lemak untuk menurunkan prevalensi penyakit tidak menular. Menurutnya, pemerintah dapat menjadikan penerapan cukai MBDK dan makanan gula, garam, dan lemak di negara lain sebagai benchmark.
"Di Inggris, Thailand, Amerika sudah juga menerapkan peraturan cukai terkait MBDK. Saya pikir ini sebuah terobosan yang signifikan untuk pemasukan. Bonusnya masyarakat sehat dan bisa berefek pada penggunaan BPJS yang berkurang," ujarnya.
Dalam kesimpulan rapat, Komisi XI DPR antara lain meminta DJBC menyusun sekaligus mengkaji diversifikasi barang yang dapat dikenakan cukai. Selain untuk mengatasi eksternalitas negatif, ekstensifikasi BKC juga untuk meningkatkan penerimaan negara. (dik)