PAJAK Pertambahan Nilai (PPN) merupakan pajak atas konsumsi yang dikenakan pada setiap penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) di dalam Daerah Pabean.
Dalam praktiknya, PPN dikenakan tidak hanya atas transaksi jual beli yang bersifat komersial, tetapi juga atas penyerahan yang tidak disertai dengan imbalan atau yang dikenal sebagai pemberian cuma-cuma.
Salah satu bentuk pemberian cuma-cuma yang sering menjadi sorotan adalah sumbangan, baik dalam bentuk barang maupun jasa. Isu ini menjadi penting karena memiliki konsekuensi pajak yang nyata bagi pelaku usaha, khususnya Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Contoh yang diberikan dalam peraturan terkait dengan pemberian cuma-cuma ialah penyerahan barang sampel untuk keperluan promosi kepada relasi atau pembeli.
Namun, dalam praktiknya, setiap bentuk pemberian tanpa imbalan sering kali langsung dikategorikan sebagai pemberian cuma-cuma yang terutang PPN, tanpa mempertimbangkan keterkaitannya dengan kegiatan usaha PKP sebagaimana diatur dalam Penjelasan Pasal 4 ayat (1) UU PPN.
Misal, dalam konteks penyerahan barang untuk tujuan sumbangan sebagaimana dicontohkan oleh Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-04/PJ.51/2002. Salah satu contohnya ialah perusahaan produsen mi instan yang menyerahkan produknya kepada korban bencana alam.
Contoh lainnya adalah perusahaan jasa persewaan traktor yang memberikan bantuan pemakaian traktor kepada pemerintah untuk menangani tanah longsor. Kedua bentuk bantuan sosial ini oleh SE-04/PJ.51/2002 dikategorikan sebagai pemberian cuma-cuma yang dikenai PPN, meskipun secara substansi bersifat sumbangan.
Secara umum, sumbangan dapat dianggap tidak terkait langsung dengan kegiatan usaha PKP yang bersangkutan. Jika ditarik ke dalam logika pajak penghasilan, hanya sumbangan tertentu yang diakui sebagai pengurang penghasilan kena pajak.
Dalam konteks PPN, Pasal 9 ayat (8) UU PPN menyebut bahwa penyerahan yang tidak berhubungan dengan kegiatan usaha yakni yang tidak terkait dengan produksi, distribusi, pemasaran, atau manajemen, tidak dapat dikreditkan pajak masukannya. Hal ini menunjukkan bahwa tidak semua pemberian cuma-cuma otomatis menjadi objek PPN.
Berbeda halnya dengan pemberian barang secara cuma-cuma untuk promosi. Kegiatan promosi umumnya dikategorikan sebagai bagian dari aktivitas usaha. Secara prinsip, apabila tidak terdapat pembayaran atas suatu penyerahan maka penyerahan tersebut tidak terutang PPN.
Namun, pengenaan PPN atas pemberian cuma-cuma dimungkinkan untuk mencegah penghindaran pajak. Salah satu bentuk penghindaran pajak ialah pengkreditan pajak masukan atas barang-barang promosi oleh pelaku usaha, padahal barang tersebut diserahkan secara cuma-cuma tanpa dikenakan PPN.
Meski begitu, terdapat pula bentuk pemberian cuma-cuma yang dapat dikecualikan dari pengenaan PPN. Misal, barang promosi seperti trade samples dan advertising material. Alasan utama pengecualian ini karena biaya atas barang-barang tersebut sebenarnya telah dihitung dalam struktur harga jual barang utama yang dipasarkan oleh perusahaan.
Sebagai ilustrasi, dalam setiap pembelian satu kaleng minuman ringan, PT Angin Segar memberikan kupon undian berhadiah satu unit mobil. Setelah diundi, Tuan Z, konsumen minuman itu memperoleh hadiah mobil secara cuma-cuma.
Namun, mengingat biaya mobil dikalkulasikan sebagai bagian dari biaya pemasaran yang dimasukkan dalam harga jual produk, PPN atas mobil tersebut secara implisit telah dipungut saat produk minuman dikenai PPN. Dalam kasus seperti ini, tidak perlu lagi dikenakan PPN secara terpisah atas pemberian mobil sebagai hadiah.
Terlepas dari beberapa pengecualian tersebut, kejelasan regulasi tetap diperlukan agar pengenaan PPN atas pemberian cuma-cuma dapat dilakukan secara konsisten dan adil. Ketentuan yang lebih terperinci akan membantu menghindari multitafsir dan potensi sengketa antara wajib pajak dan otoritas pajak.
Untuk memahami lebih dalam mengenai isu tersebut, termasuk berbagai problematika PPN lainnya, DDTC telah merilis buku ke-34 berjudul Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai Edisi Kedua.
Buku ini tidak hanya menguraikan teori dan praktik internasional, tetapi juga menyajikan pembahasan praktis terhadap isu-isu yang sering dihadapi oleh wajib pajak, termasuk sumbangan, reimbursement, hingga ekspor jasa.
Buku ini tersedia melalui tautan berikut store.perpajakan.ddtc.co.id dan menjadi referensi utama yang relevan bagi kalangan praktisi, akademisi, maupun pembuat kebijakan yang ingin memahami perkembangan dan dinamika PPN secara komprehensif.
Sebagai bagian dari refleksi 40 tahun penerapan PPN di Indonesia, DDTC Academy juga akan menggelar seminar bertajuk 40 Tahun PPN Indonesia: Menelaah Isu Spesifik PPN yang Kerap Menjadi Sengketa. Acara ini akan diadakan pada Rabu (7/5/ 2025) di Menara DDTC, Jakarta.
Seminar ini akan menghadirkan langsung para penulis buku sebagai pembicara, termasuk Founder of DDTC Darussalam dan Danny Septriadi, Senior Manager of DDTC Consulting Khisi Armaya Dhora, serta Senior Tax Expert, CEO Office at DDTC Atika Ritmelina Marhani.
Para peserta akan diajak mendalami isu-isu penting dalam praktik perpajakan, termasuk penetapan saat terutang PPN, mekanisme restitusi, dan pengkreditan pajak masukan.
Seminar ini juga menjadi momen yang tepat bagi para profesional pajak untuk mendapatkan wawasan mendalam dan memperkuat kapasitas dalam mengelola kewajiban perpajakan dengan lebih baik. Pendaftaran dapat dilakukan melalui platform resmi DDTC Academy di academy.ddtc.co.id. (rig)