JAKARTA, DDTCNews - Pengenaan PPN pada dasarnya dikenakan pada setiap mata rantai ekonomi, mulai dari produksi, distribusi, hingga penyerahan kepada konsumen akhir. Namun, PPN tidak untuk dibebankan kepada pengusaha kena pajak.
Demi mewujudkan netralitas PPN, kebijakan pemajakan PPN harus disertai skema pengkreditan pajak masukan. Skema pengkreditan pajak ini harus diperoleh seketika dan secara penuh oleh pengusaha kena pajak (PKP).
Mengacu pada Pasal 9 UU PPN, terdapat 3 prinsip dasar pengkreditan pajak masukan, yaitu:
Selain itu, terdapat persyaratan yang perlu dipenuhi untuk skema pengkreditan pajak di Indonesia. Pertama, syarat formal, yaitu pajak masukan yang dikreditkan harus menggunakan faktur pajak yang memenuhi ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kedua, syarat material, yaitu pajak masukan yang dikreditkan merupakan pengeluaran yang langsung berhubungan dengan kegiatan usaha dan pengeluaran tersebut berkaitan dengan adanya penyerahan yang terutang PPN.
Hingga artikel ini ditulis, prinsip dasar pengkreditan pajak masukan masih mengacu pada ketentuan dalam Pasal 375 ayat (1) PMK 81/2024. Beleid tersebut menegaskan pajak masukan dalam suatu masa pajak dikreditkan dengan pajak keluaran dalam masa pajak yang sama.
Berkaitan dengan skema pengkreditan pajak masukan, buku ke-34 DDTC berjudul Konsep dan Studi Komparasi Pajak Pertambahan Nilai Edisi Kedua dari DDTC menjelaskan secara detail kondisi-kondisi tertentu yang dialami oleh PKP yang hendak melakukan pengkreditan pajak masukan.
Tidak hanya itu, buku ini juga mengulas secara komprehensif konsep dasar PPN, penerapan PPN di Indonesia dan di beberapa negara.
Bagi profesional perpajakan, akademisi, maupun praktisi bisnis yang ingin mendalami PPN, buku DDTC ini dapat dipesan dengan sistem pre-order secara bundling dengan buku DDTC lainnya atau dengan berlangganan Perpajakan DDTC Premium 1 tahun.
Dapatkan PPN Edisi Kedua, buku DDTC lain, serta langganan Perpajakan DDTC Premium melalui tautan berikut: https://bit.ly/BukuPPNEdisiKedua. (rig)