KEBIJAKAN PAJAK

Peningkatan Tax Ratio Perlu Perhatikan Hak-Hak Wajib Pajak

Dian Kurniati
Selasa, 24 September 2024 | 16.36 WIB
Peningkatan Tax Ratio Perlu Perhatikan Hak-Hak Wajib Pajak

Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji.

JAKARTA, DDTCNews - Pelaksanaan berbagai strategi peningkatan rasio perpajakan (tax ratio) dinilai perlu untuk memperhatikan hak-hak wajib pajak.

Director Fiscal Research and Advisory DDTC B. Bawono Kristiaji mengatakan pemenuhan hak wajib pajak semestinya menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari upaya mengoptimalkan penerimaan perpajakan.

"Jangan sampai dalam upaya optimalisasi penerimaan pajak ini, kita tidak memiliki strategi untuk meningkatkan keadilan dan pemenuhan hak-hak wajib pajak," katanya dalam Investor Daily Talk, Selasa (24/9/2024).

Menurut Bawono, peningkatan tax ratio yang tidak dibarengi dengan perlindungan hak-hak wajib pajak justru berpotensi mendistorsi dunia usaha dan ekonomi.

Dia menuturkan target tax ratio pada 2025 yang ditetapkan oleh pemerintah dan DPR sebesar 10,2% tergolong moderat. Sebagai perbandingan, tax ratio pada 2023 mencapai 10,3%. Adapun proyeksi tax ratio pada tahun ini sebesar 10,1%.

Dia juga menambahkan tren penerimaan perpajakan secara nominal terus menunjukkan peningkatan dalam 1 dekade terakhir ini. Namun demikian, tax ratio secara persisten turun akibat tax buoyancy yang di bawah 1.

Sebagai informasi, tax buoyancy dihitung untuk mengukur elastisitas penerimaan pajak terhadap pertumbuhan PDB nominal. Apabila tax buoyancy berada di atas 1, artinya penerimaan pajak mampu tumbuh lebih tinggi ketimbang pertumbuhan PDB.

Lebih lanjut, Bawono menilai strategi optimalisasi penerimaan perpajakan pada 2024 sudah berada pada jalur yang tepat. Beberapa strategi tersebut di antaranya penerapan coretax administration system, perluasan basis pajak, dan pemberian insentif secara terukur.

Untuk coretax, sistem baru DJP ini diyakini akan menyederhanakan sistem administrasi pajak yang kompleks. Penerapan coretax juga bakal meningkatkan kepastian pajak, sekaligus mengurangi interaksi antara wajib pajak dan fiskus.

Studi yang dilaksanakan International Monetary Fund (IMF) menunjukkan transformasi di bidang administrasi pajak mampu meningkatkan tax ratio sebesar 1% hingga 1,5%.

"Dampak dari coretax system ini patut kita tunggu. Studi empiris memberikan sinyal dan harapan adanya coretax system ini bisa memberikan lompatan besar," ujar Bawono.

Mengenai perluasan basis pajak, tendensi tersebut sudah terasa ketika pemerintah merevisi beberapa undang-undang melalui UU Cipta Kerja dan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP).

Pada pajak penghasilan (PPh), perluasan basis pajak antara lain dilaksanakan melalui integrasi NIK sebagai NPWP dan perluasan jenis penghasilan sebagai objek pajak.

Untuk PPN, pemerintah mulai meninjau ulang beberapa jenis barang atau jasa yang dikecualikan dari PPN. Namun, lanjutnya, perluasan basis PPN juga dapat dilakukan dengan merevisi ambang batas omzet Rp4,8 miliar untuk pengusaha kena pajak (PKP).

Ambang batas PKP yang terlalu tinggi menyebabkan pemerintah sulit memetakan mekanisme PPN di setiap rantai aktivitas ekonomi. Selain itu, studi komparasi menunjukkan ambang batas Rp4,8 miliar menjadikan Indonesia sebagai satu dari 10 negara dengan threshold tertinggi di dunia.

Threshold penetapan PKP di dunia rata-rata senilai Rp1,1 hingga Rp1,2 miliar. "Kalau ini di-adjust, kita akan melihat makin banyak aktivitas ekonomi yang masuk ke radar pemerintah sehingga dapat memperluas basis pajak juga," tutur Bawono.

Terkait dengan rencana pembentukan badan penerimaan negara (BPN), Bawono mengingatkan agar reformasi kelembagaan ini berfokus pada peningkatan kewenangan dan independensi otoritas dalam mengoptimalkan penerimaan.

Meski demikian, lanjutnya, kehadiran lembaga semiotonom ini juga harus tetap menjamin perlindungan hak-hak wajib pajak. (rig)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.