KEBIJAKAN ENERGI

Dua Sisi Dampak Konflik Global Terhadap Sektor Energi RI, Seperti Apa?

Redaksi DDTCNews
Kamis, 08 Agustus 2024 | 13.51 WIB
Dua Sisi Dampak Konflik Global Terhadap Sektor Energi RI, Seperti Apa?

Foto udara pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Jawa 9 dan 10 di kawasan Suralaya, Cilegon, Banten, Rabu (31/7/2024). ANTARA FOTO/Galih Pradipta/aww.

JAKARTA, DDTCNews - Masih panasnya situasi geopolitik dunia ikut memberikan dampak terhadap sektor energi Tanah Air. Namun, dampak tersebut tidak bisa dilihat dari satu sisi. Ada plus-minusnya. 

Sekretaris Jenderal Kementerian ESDM Dadan Kusdiana menjelaskan perang Rusia-Ukraina dan konflik di Timur Tengah memicu lonjakan harga minyak mentah. Hal ini tentu memberikan dampak negatif bagi importir crude oil dan bahan bakar minyak (BBM) seperti Indonesia.

"Namun, di sisi lain, jangan lupa kalau Indonesia juga ekspor crude oil. Tentu kita ikut menikmati lonjakan harga pasar minyak mentah akibat konflik yang terjadi," kata Dadan dalam keterangannya, Kamis (8/8/2024). 

Perlu dipahami, Indonesia memang punya posisi yang unik di sektor energi. Indonesia berperan sebagai produsen minyak dan gas bumi, serta mengekspor komoditas tersebut. Namun, Indonesia juga masih mengimpor minyak mentah dan BBM untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya. 

"Kita juga ekspor gas. Sekitar 32% gas kita diekspor. Kita juga eksportir batu bara dalam jumlah yang besar. Artinya, konflik global ini memengaruhi Indonesia dari dua sisi," kata Dadan. 

Secara hitungan, setiap kenaikan US$1 per barel minyak mentah akan memberikan penambahan pendapatan negara Rp3,3 triliun. Namun, di sisi lain belanja negara akan melonjak jadi Rp9,2 triliun akibat importasi BBM yang dilakukan Indonesia. 

"Sehingga kalau [harga minyak dunia] naik itu sebetulnya lebih banyak pengaruhnya untuk crude karena terjadi defisit Rp5 triliun sampai Rp6 triliun untuk kenaikan US$1 per barel," lanjut Dadan.

Di Indonesia, pembangkit listrik masih banyak yang memanfaatkan BBM (solar). Namun secara kapasitas, sumber pembangkit listrik di Indonesia masih didominasi oleh batu bara (PLTU). Harga jual batu bara pun dilindungi kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) dengan patokan harga tertinggi US$70 per ton.

"Alhamdulillah untuk listrik tidak terlalu berdampak karena kita punya kebijakan yang sangat baik. Basisnya sekarang 66% itu dari batu bara. Sementara batubaranya kan sudah di-cap harganya maksimum di angka US$70," kata Dadan. 

Sebaliknya, ekspor batu bara yang dilakukan Indonesia telah membawa keuntungan besar bagi Indonesia karena harga ekspor mengikuti harga pasar internasional yang membawa peningkatan penerimaan negara.

Karena itu, Dadan menilai konflik global yang terjadi seyogianya dilihat dari dua sisi. 

"Saya kira ini sesuatu yang bukan dilihat apakah ini bagus apa jelek gitu. Memang ada trade off-nya di situ karena kita tidak murni sebagai importir. Kita juga tidak 100% sebagai produsen, jadi harga internasional ini memengaruhi,"urai Dadan.

Dadan mencontohkan dampak konflik global di tahun 2023 yang menaikan harga komoditasi global membuat penerimaan negara meningkat hingga 116% dari target atau sebesar Rp300 triliun.

"Pada 2023 harga komoditas bagus. Harga batu bara tinggi, harga mineral juga, termasuk nikel. Pendapatan PNBP bisa menembus Rp300 triliun atau 116% dari target di tahun tersebut. Jadi memang dinamis saja melihatnya antara harga dan PNBP itu sesuatu hal yang sangat berkaitan," tutur Dadan.  (sap)

Cek berita dan artikel yang lain di Google News.
Bagikan:
user-comment-photo-profile
Belum ada komentar.