Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah memilih untuk berhati-hati dalam menetapkan suatu barang kena cukai. Topik tersebut menjadi ulasan media nasional pada hari ini, Kamis (25/7/2024).
Penambahan objek cukai harus dilakukan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa DJBC Nirwala Dwi Heryanto mengatakan pemerintah akan mempertimbangkan berbagai aspek seperti kondisi ekonomi masyarakat, industri, kesehatan, dan lingkungan.
"Kami akan mendengarkan aspirasi stakeholders, dalam hal ini DPR dan masyarakat luas," katanya.
Hingga saat ini, baru ada 3 barang yang sudah dikenakan cukai di Indonesia yakni etil alkohol atau etanol, minuman yang mengandung etil alkohol (MMEA), dan hasil tembakau.
"Sifat kebijakan ekstensifikasi tersebut masih usulan-usulan dari berbagai pihak, belum masuk kajian, dan juga dalam rangka untuk mendapatkan masukan dari kalangan akademisi," ujar Nirwala.
Saat ini, warganet ramai membahas rencana ekstensifikasi barang kena cukai (BKC). Beberapa barang yang mulai dikaji dikenakan cukai antara lain plastik, minuman bergula dalam kemasan (MBDK), dan bahan bakar minyak (BBM).
Sementara itu, barang yang diusulkan kena cukai atau masih tahap prakajian antara lain fastfood, tisu, smartphone, MSG, batu bara, tiket pertunjukan hiburan, dan detergen.
Nirwala menjelaskan proses penetapan objek cukai memakan waktu tidak sebentar. Prosesnya perlu dimulai dari penyampaian rencana ekstensifikasi cukai ke DPR, penentuan target penerimaan dalam RAPBN bersama DPR, hingga penyusunan peraturan pemerintah sebagai payung hukum.
Pemerintah juga menerima usulan dari masyarakat terkait dengan barang-barang yang perlu dikenai cukai.
Selain bahasan mengenai ekstensifikasi barang kena cukai, ada pula pemberitaan mengenai pembuatan faktur pajak dengan NPWP 000, progres uji materiil terhadap UU HKPD, beban berat pemerintah dalam menaikkan rasio pajak, hingga ketentuan pembuatan faktur pajak digunggung.
Sejauh ini, pengenaan cukai atas produk plastik dan minuman manis dalam kemasan (MBDK) yang secara matang sudah digodok pemerintah. Pengenaan cukai plastik telah diwacanakan sejak 2016. Pada APBN-P 2016, pemerintah untuk pertama kali mulai menetapkan target penerimaan cukai plastik senilai Rp1 triliun.
Target penerimaan cukai plastik secara konsisten masuk dalam APBN. Adapun pada tahun 2024, target cukai plastik ditetapkan senilai Rp1,84 triliun.
Mengenai cukai MBDK, pemerintah sudah menyampaikannya kepada DPR sejak 2020. Pemerintah dan DPR bahkan mematok target penerimaan cukai MBDK untuk pertama kalinya pada APBN 2022 senilai Rp1,5 triliun. Pada 2024, target penerimaan cukai MBDK ditetapkan Rp4,38 triliun. (DDTCNews)
Pasca-peluncuran e-faktur 4.0, pembuatan faktur pajak dengan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) 000 hanya bisa untuk subjek pajak luar negeri (SPLN) orang pribadi yang memang tidak wajib memiliki NPWP.
Artinya, faktur pajak dengan NPWP 000 tidak lagi bisa dibuat untuk pembeli barang kena pajak atau jasa kena pajak (BKP/JKP) yang merupakan subjek pajak dalam negeri (SPDN).
"Apabila isi NPWP dengan 000, kolomnya saat ini hanya paspor. Jika lawan transaksi merupakan SPDN maka tetap harus dicantumkan identitas seperti NIK atau NPWP 16 digit," tulis Kring Pajak. (DDTCNews)
Mahkamah Konstitusi (MK) melanjutkan persidangan terkait dengan pengujian materiil atas pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) sebesar 40% hingga 75% khusus atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Ketentuan tersebut tertuang dalam UU HKPD.
Saksi ahli yang dihadirkan oleh Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia menyampaikan spa tidak dapat dikategorikan sebagai usaha hiburan.
"UU 1/2022 [tentang HKPD] itu kajian akademis terkait spa dimasukkan hiburan tidak ditemukan dasarnya," ujar Ketua Bidang Pengembangan Skema Sertifikasi Usaha Pariwisata PKSUPI Mohammad Asyhadi. (DDTCNews)
Faktur pajak yang diterbitkan atas penyerahan barang kena pajak atau jasa kena pajak (BKP/JKP) harus mencantumkan Nomor Induk Kependudukan (NIK) atau NPWP.
Jika pembeli tak mau memberitahukan NIK atau NPWP miliknya, pengusaha kena pajak (PKP) tidak bisa serta merta membuat faktur pajak digunggung tanpa mencantumkan identitas pembeli BKP/JKP.
"Faktur pajak digunggung hanya dapat dilakukan kepada konsumen dengan karakteristik konsumen akhir," cuit Kring Pajak.
Konsumen akhir harus memenuhi dua karakter. Pertama, pembeli barang atau jasa mengonsumsi secara langsung barang atau jasa yang dibeli. Kedua, pembeli barang atau jasa tidak menggunakan atau memanfaatkan barang atau jasa dimaksud untuk kegiatan usaha.
Salah satu pekerjaan rumah pemerintah terberat yang perlu dibenahi untuk bisa bergabung ke dalam keanggotaan Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan (OECD) adalah rendahnya rasio pajak.
Selama 10 tahun terakhir alias di bawah rezim Presiden Jokowi, rasio perpajakan Indonesia hanya mampu menyentuh level 10% terhadap produk domestik bruto (PDB). Indonesia bahkan belum pernah mencapai rasio perpajakan 11%. Terakhir, pada tahun 2023, rasio perpajakan Indonesia adalah 10,31 persen dari PDB.
OECD dalam kajiannya pada tahun 2024 menggarisbawahi bahwa walaupun sebenarnya keadaan keuangan publik Indonesia masih baik, dengan tingkat utang yang relatif aman, tetapi rasio penerimaan pajak terhadap PDB-nya terhitung rendah, hanya sedikit di atas 10 persen. (Kompas) (sap)