Suasana sidang uji materiil atas pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) sebesar 40% hingga 75%.
JAKARTA, DDTCNews - Mahkamah Konstitusi (MK) melanjutkan persidangan terkait dengan pengujian materiil atas pajak barang dan jasa tertentu (PBJT) sebesar 40% hingga 75% khusus atas jasa hiburan di diskotek, karaoke, kelab malam, bar, dan mandi uap/spa. Ketentuan tersebut tertuang dalam UU HKPD.
Dalam sidang kali ini, MK mendengarkan keterangan dari 3 saksi ahli yang dihadirkan oleh Perhimpunan Pengusaha Husada Tirta Indonesia. Saksi ahli yang dihadirkan antara lain Ketua Bidang Pengembangan Skema Sertifikasi Usaha Pariwisata PKSUPI Mohammad Asyhadi, Ahli Hukum Tata Negara dari Universitas Udayana Yohanes Usfunan, dan Guru Besar Ilmu Kebijakan Pajak Universitas Indonesia Haula Rosdiana.
Dalam persidangan, Asyhadi mengatakan spa tidak dapat dikategorikan sebagai usaha hiburan. "UU 1/2022 [tentang HKPD] itu kajian akademis terkait spa dimasukkan hiburan tidak ditemukan dasarnya," ujar Asyhadi, Rabu (24/7/2024).
Dalam Pasal 1 angka 49 UU HKPD, jasa kesenian dan hiburan didefinisikan sebagai jasa penyediaan atau penyelenggaraan semua jenis tontonan, pertunjukan, permainan, ketangkasan, rekreasi, dan/atau keramaian untuk dinikmati. Faktanya, karakteristik usaha spa tidaklah memenuhi definisi tersebut.
Menurut Asyhadi, usaha spa sesungguhnya adalah perawatan yang memberikan layanan dengan berbagai metode, seperti terapi air, terapi aroma, pijat, layanan makanan/minuman sehat, olah fisik, dan lain-lain dengan tujuan untuk menyeimbangkan jiwa raga.
Dalam sidang yang sama, Haula juga mengatakan pengenaan PBJT sebesar 40% hingga 75% atas spa bertentangan dengan UU Kesehatan. Menurutnya, UU Kesehatan justru menegaskan bahwa spa adalah bagian dari perawatan kesehatan sekaligus warisan budaya.
"Secara akademis dilihat dari legal character dari pajak sebetulnya ini ada kontradiksi ketika spa dianggap sebagai hiburan itu menjadi sangat kontradiktif dengan UU Kesehatan," ujar Haula.
Menurut Haula, kebijakan pajak daerah atas spa perlu diselaraskan dengan kebijakan PPN atas jasa kesehatan. Kebijakan pemungutan pajak atas spa perlu dirumuskan secara komprehensif, holistik, dan imparsial sembari mempertimbangkan dampaknya terhadap perekonomian.
"Dari naskah akademik yang saya baca, tidak ada argumentasi yang sangat mendasar untuk mengelompokkan spa dengan diskotik dan seterusnya. Spa bukanlah jasa hiburan, spa adalah bagian dari pelayanan kesehatan. Perlakukanlah spa sebagaimana hakikatnya dan berikan legal character yang tepat," ujar Haula.
Adapun Yohanes mengatakan pengkategorian spa dalam jasa hiburan bersifat diskriminatif dan bertentangan dengan UUD 1945. Tak hanya itu, menurut Yohanes spa bukanlah bagian dari kemewahan, melainkan bagian dari hak asasi manusia.
"Pada Pasal 28H UUD 1945 itu bicara mengenai bagaimana jaminan kesehatan, dan ini [spa] berkaitan dengan persoalan kesehatan dan kehidupan manusia. Spa ini adalah bagian dari kebugaran, bukan untuk mencari hiburan di situ," ujar Yohanes. (sap)