Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews – Wajib pajak berhak mengajukan pembatalan surat ketetapan pajak (SKP) dari hasil pemeriksaan yang tidak sesuai dengan prosedur. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf d Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP).
Berdasarkan pasal tersebut, SKP yang dapat diajukan pembatalan adalah SKP yang terbit tanpa penyampaian surat pemberitahuan hasil pemeriksaan (SPHP) atau tanpa pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan wajib pajak.
“... dirjen pajak ... dapat membatalkan hasil pemeriksaan pajak yang dilaksanakan tanpa penyampaian SPHP atau tanpa dilakukan pembahasan akhir hasil pemeriksaan dengan wajib pajak,” bunyi penjelasan Pasal Pasal 36 ayat (1) huruf d UU KUP, dikutip pada Selasa (23/7/2024).
Namun, apabila wajib pajak tidak hadir dalam pembahasan akhir hasil pemeriksaan sesuai dengan batas waktu yang ditentukan maka permohonan pembatalan SKP tidak dapat dipertimbangkan. Sebagai informasi, SKP merupakan hasil atau produk hukum dari proses pemeriksaan pajak.
Dirjen pajak memang diberikan wewenang untuk melaksanakan pemeriksaan pajak. Pemeriksaan itu bisa dilakukan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan/atau untuk tujuan lain.
Adapun pemeriksaan harus dilaksanakan sesuai dengan prosedur, di antararanya melalui penyampaian SPHP dan pembahasan akhir. Jika tidak, wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembatalan atas hasil pemeriksaan atau SKP.
Wajib pajak dapat mengajukan permohonan pembatalan SKP hasil pemeriksaan dengan menyampaikan surat permohonan pembatalan SKP kepada dirjen pajak. Perincian ketentuan permohonan pembatalan SKP tersebut diatur dalam PMK 8/2013.
Berdasarkan Pasal 22 beleid tersebut, permohonan pembatalan SKP hasil pemeriksaan hanya dapat diajukan apabila SKP tersebut:
Apabila wajib pajak telah mengajukan keberatan, meskipun permohonan keberatan tidak dipertimbangkan atau dicabut, permohonan pembatalan SKP tetap tidak dapat diajukan. Adapun ada 4 syarat yang harus dipenuhi untuk mengajukan permohonan pembatalan SKP.
Pertama, 1 permohonan untuk 1 SKP. Kedua, permohonan harus diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dengan menguraikan tentang tidak disampaikannya SPHP dan/atau tidak dilaksanakannya pembahasan akhir hasil pemeriksaan.
Ketiga, permohonan harus disampaikan ke kantor pelayanan pajak (KPP) tempat wajib pajak terdaftar. Keempat, surat permohonan ditandatangani oleh wajib pajak. Dalam hal surat permohonan ditandatangani oleh bukan wajib pajak maka harus dilampiri dengan surat kuasa khusus.
“Permohonan pembatalan surat ketetapan pajak hasil pemeriksaan hanya dapat diajukan oleh wajib pajak paling banyak 1 kali,” bunyi Pasal 22 ayat (5) PMK 8/2013.
Namun, permohonan pembatalan SKP hasil pemeriksaan tidak dapat diajukan atas SKP Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT) yang diterbitkan berdasarkan keterangan tertulis dari wajib pajak atas kehendak sendiri (Pasal 15 ayat (3) UU KUP).
Selain itu, pembatalan SKP hasil pemeriksaan juga tidak bisa diajukan atas SKP Lebih Bayar (SKPLB) yang terbit berdasarkan Pasal 17 ayat (2) UU KUP. Selain dari hasil pemeriksaan, pembatalan SKP juga dapat diajukan atas SKP dari hasil verifikasi.
Sama seperti SKP hasil pemeriksaan, SKP hasil verifikasi dapat diajukan pembatalan apabila diterbitkan tanpa surat pemberitahuan hasil verifikasi atau pembahasan akhir hasil verifikasi dengan wajib pajak.
Selain itu, wajib pajak juga dapat mengajukan permohonan pembatalan SKP yang tidak benar. SKP yang tidak benar itu meliputi SKP yang seharusnya tidak diterbitkan. Untuk permohonan pembatalan SKP yang tidak benar diatur dalam Pasal 36 ayat (1) huruf b UU KUP dan Pasal 13 – Pasal 16 PMK 8/2013.
“Dirjen pajak ... dapat mengurangkan atau membatalkan SKP yang tidak benar, misalnya wajib pajak yang ditolak pengajuan keberatannya karena tidak memenuhi persyaratan formal (memasukkan surat keberatan tidak pada waktunya) meskipun persyaratan material terpenuhi,” bunyi penjelasan Pasal 36 ayat (1) UU KUP. (sap)