Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ada alasan khusus di balik diberlakukannya penggunaan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) secara bertahap yang diatur melalui PER-6/PJ/2024. Topik ini menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Senin (8/7/2024).
Salah satu pertimbangan Ditjen Pajak (DKP) adalah kesiapan sistem yang dimiliki oleh pihak lain, misalnya perbankan. Dengan ketentuan saat ini, wajib pajak dan pihak lain masih punya waktu untuk menggunakan NPWP format lama atau 15 digit.
Penyuluh Pajak Ahli Pratama DJP Imaduddin Zauki mengatakan wajib pajak masih memiliki kesempatan untuk melakukan pemadanan NIK sebagai NPWP. Menurutnya, pemadanan diperlukan agar wajib pajak tidak mengalami kendala apabila NIK telah berlaku penuh sebagai NPWP.
Diberinya waktu yang lebih longgar, diharapkan nantinya semua pihak sudah betul-betul siap ketika implementasi NIK sebagai NPWP berjalan secara penuh. "Kalau sudah disampaikan implementasi secara penuh, nanti tidak akan ada gangguan lagi contohnya, [jangan] masih ada nih yang ketinggalan belum pemadanan," katanya dalam talk show radio.
Imaduddin menuturkan penggunaan NPWP 16 digit bertujuan memberikan kemudahan layanan kepada wajib pajak. PER-6/PJ/2024 pun mengatur sejumlah layanan administrasi yang dapat diakses dengan NPWP 16 digit mulai 1 Juli 2024.
Selain bahasan mengenai implementasi NIK sebagai NPWP, ada pula pemberitaan mengenai ketentuan soal pengajuan quality assurance terhadap pemeriksaan wajib pajak, penetapan asumsi makro APBN 2025, hingga kabar terbaru mengenai wacana pemerintah soal pembentukan family office di Indonesia.
Sejalan dengan pemberlakuan NIK sebagai NPWP secara bertahap, pemberi kerja diimbau untuk mengecek status pemadanan NIK-NPWP karyawannya. Hal ini diperlukan untuk memastikan perusahaan tidak mengalami kendala menerbitkan bukti potong apabila integrasi NIK-NPWP berlaku penuh.
"Mereka yang memberikan penghasilan, pemberi kerja atau perusahaan sudah didorong untuk bisa mengecek status pegawai masing-masing, sudah padan atau belum," kata Penyuluh Pajak Ahli Muda DJP Rian Ramdani dalam talk show di radio.
NIK yang belum padan dapat dikembalikan kepada pegawai agar melakukan pemadanan. (DDTCNews)
DJP menegaskan wajib pajak pusat juga diberikan nomor identitas tempat kegiatan usaha (NITKU).
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti mengatakan NITKU bagi wajib pajak pusat memiliki akhiran 000000, sedangkan NITKU yang diberikan kepada cabang memiliki akhiran 000001 dan seterusnya sesuai dengan jumlah kantor cabang yang dimiliki.
"Hal ini menjadi penanda bahwa wajib pajak tersebut bukan merupakan cabang," katanya. (DDTCNews)
Wajib pajak berhak mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan hasil pemeriksaan dengan tim quality assurance, kecuali menyangkut pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan melalui pemeriksaan kantor. Hal ini diatur dalam PMK 17/2013 s.t.d.t.d PMK 18/2021.
Berdasarkan beleid tersebut, hak wajib pajak untuk mengajukan quality assurance dikecualikan khusus atas pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan melalui pemeriksaan kantor.
"... wajib pajak berhak: mengajukan permohonan untuk dilakukan pembahasan dengan tim quality assurance pemeriksaan ... kecuali untuk pemeriksaan atas data konkret yang dilakukan dengan jenis pemeriksaan kantor sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (3)," bunyi penggalan Pasal 13 huruf g PMK 17/2013 s.t.d.t.d PMK 18/2021. (DDTCNews)
Pemerintah bersama Badan Anggaran (Banggar) DPR menyepakati asumsi makro yang menjadi dasar penyusunan APBN 2025.
Melalui rapat tersebut, pemerintah dan DPR menyepakati asumsi pertumbuhan ekonomi sebesar 5,1% hingga 5,5%, asumsi inflasi sebesar 1,5% hingga 3,5%, dan nilai tukar rupiah pada kisaran Rp15.300 hingga Rp15.900 per dolar AS.
"Kami akan bekerja keras dan terus berkomunikasi agar RAPBN 2025 tetap bisa menjawab tantangan pembangunan sembari menjaga kesehatan dan sustainability-nya," ujar Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati. (DDTCNews)
Menteri Perancanaan Pembangunan Nasional (PPN/Kepala Bappenas) Suharso Monoarfa buka suara terkait dengan wacana pendirian family office yang dilontarkan Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Berbeda dengan Luhut, Suharso beranggapan pemerintah tidak bisa terus-menerus mengandalkan insentif fiskal untuk menarik investasi asing. Pasalnya, family office dirancang 'bebas pajak'.
Suharso mengingatkan pemerintah pun perlu meningkatkan pendapatan melalui tax ratio. Dengan kata lain, jorjoran pemberian insentif fiskal justru tidak selaras dengan target penerimaan negara. (CNN Indonesia) (sap)