Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) DPR meminta pemerintah untuk memperkuat regulasi, pengawasan, dan pemanfaatan dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP).
Ketua BAKN DPR RI Wahyu Sanjaya mengatakan PNBP selaku sumber penerimaan negara yang terbesar kedua setelah pajak perlu dibuat lebih akuntabel, transparan, dan memberikan manfaat bagi Indonesia ke depan.
"Kita kan tahu negara kita kaya raya kan, banyak batu bara, banyak emas, banyak semacam lah. Kita berusaha melihatnya bagaimana akhirnya ke depannya pengelolaan jadi lebih baik," ujar Wahyu setelah focus group discussion bersama Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dikutip Jumat (5/7/2024).
Adapun Wakil Ketua BAKN DPR Hendrawan Supratikno mengatakan masih banyak potensi PNBP yang belum tergali dengan maksimal dan belum dimanfaatkan dengan baik. Menurut Hendrawan, Indonesia memiliki SDA yang besar tetapi kontribusinya terhadap penerimaan negara masih minim.
Setelah melakukan penelaahan terhadap laporan hasil pemerintah (LHP) BPK, BAKN DPR berpandangan pendapatan negara dari PNBP seharusnya bisa naik pada tahun depan. Pasalnya, terdapat potensi sebesar 10% hingga 15% yang masih bisa dioptimalkan.
"Jadi intinya kita semua berharap PNBP ini di masa-masa mendatang bisa ditingkatkan. Nah, persoalannya adalah bagaimana pengelolaan yang baik agar penerimaan bukan pajak ini dari waktu ke waktu bisa dioptimalkan," ujar Hendrawan.
Adapun salah satu opsi yang dipertimbangkan oleh BAKN DPR dalam rangka meningkatkan kinerja PNBP adalah meningkatkan eselon pengelola PNBP dari yang saat ini eselon II ke eselon I.
"Apakah secara struktural lembaga yang mengelola PNBP ini eselonnya ditingkatkan? Karena kan selama ini baru level direktur, belum dirjen. Itu sebabnya ada harapan mungkin PNBP ini disetarakan dengan dirjen pengelolanya," ujar Hendrawan.
Untuk diketahui, BPK dalam LHP atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) 2023 mencatat pengelolaan PNBP senilai Rp6,81 triliun di 42 kementerian dan lembaga (K/L) masih belum sesuai ketentuan. Tak hanya itu, pengelolaan piutang PNBP senilai Rp3,51 triliun di 17 K/L juga masih belum sesuai ketentuan.
Menurut BPK, masalah ini terjadi karena Ditjen Anggaran (DJA) belum melakukan evaluasi menyeluruh atas permasalahan pengelolaan PNBP dan piutang bukan pajak. DJA juga disebut belum menyusun risk profiling terhadap K/L yang memiliki risiko tinggi dalam pengelolaan PNBP dan piutang bukan pajak.
Tak hanya itu, BPK juga berpandangan bahwa DJA masih belum memiliki sistem pengembangan kompetensi bagi personil yang terkait dengan pengelolaan PNBP dan piutang bukan pajak.
Oleh karena itu, BPK merekomendasikan kepada DJA untuk melakukan evaluasi menyeluruh atas PNBP dan piutang, melakukan risk profiling, serta membangun sistem pengembangan kompetensi pengelola PNBP. (sap)