Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ketentuan-ketentuan terkait upaya hukum yang selama ini tersebar dalam 5 peraturan menteri keuangan (PMK) rencananya akan digabungkan ke dalam 1 PMK.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas DJP Dwi Astuti saat ini sedang disusun RPMK tentang Upaya Hukum Perpajakan yang ditargetkan bisa menyederhanakan proses bisnis pembetulan, pengurangan sanksi administrasi, hingga keberatan.
"RPMK Gabungan Upaya Hukum Perpajakan tersebut disusun untuk meningkatkan efektivitas, efisiensi, serta dalam rangka simplifikasi regulasi terkait bisnis proses dan hak wajib pajak," ujar Dwi, dikutip Sabtu (30/12/2023).
PMK-PMK yang bakal terdampak oleh PMK Gabungan Upaya Hukum Perpajakan tersebut antara lain PMK 11/2013 tentang Tata Cara Pembetulan, PMK 9/2013 s.t.d.d PMK 202/2015 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan, dan PMK 253/2014 s.t.d.d PMK 249/2016 tentang Tata Cara Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Pajak Bumi dan Bangunan.
Selanjutnya, PMK yang akan direvisi yakni PMK 8/2013 tentang Tata Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan Pengurangan atau Pembetulan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak dan PMK 81/2017 tentang Pengurangan Denda Administrasi Pajak Bumi dan Bangunan dan Pengurangan atau Pembatalan Surat Pemberitahuan Pajak Terutang, Surat Ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan, Surat Tagihan Pajak Bumi dan Bangunan, yang Tidak Benar.
Tak hanya memperbaiki proses bisnis upaya hukum pajak, PMK baru ini juga merespons sorotan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) atas diskresi kanwil dalam memberikan fasilitas pengurangan dan penghapusan sanksi.
"Diharapkan setelah RPMK diterbitkan dapat digunakan sebagai panduan oleh unit vertikal salah satunya dalam memproses pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi agar memberikan keseragaman perlakuan kepada wajib pajak," ujar Dwi.
Menurut BPK, DJP masih belum memiliki mekanisme pengujian kelayakan pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi. Akibatnya, masing-masing kanwil DJP dapat mengeluarkan kebijakan pengurangan dan penghapusan sanksi administrasinya.
BPK mencatat setidaknya ada 12 kanwil DJP yang memberikan pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dengan kriteria dan besaran pengurangan sanksi yang berbeda-beda. Masalah ini timbul karena dirjen pajak tidak memberikan pedoman.
Dengan demikian, ada ketidakselarasan pengurangan dan penghapusan sanksi administrasi antarkanwil.
"Hal tersebut mengakibatkan adanya risiko penyalahgunaan kewenangan kepala kanwil DJP terkait pengurangan/penghapusan sanksi administrasi," tulis BPK dalam Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) atas Kepatuhan Keberatan, Non Keberatan, dan Banding Tahun 2021 dan 2022.
Meski telah menjadi temuan dalam LHP 2021 dan 2022 tersebut, pada faktanya masih terdapat segelintir kanwil yang menerapkan program pengurangan sanksi administrasinya secara sendiri-sendiri pada tahun ini.
Contoh, Kanwil DJP Jawa Timur I, II, dan III menggelar program pengurangan sanksi administrasi atau PSA pada tahun ini dengan pengurangan sanksi sebesar 30% hingga 75%. Kanwil DJP Sulselbartra juga menggelar program PSA dengan pengurangan sanksi sebesar 45% hingga 78%.
Terbaru, Kanwil DJP Nusa Tenggara pada tahun ini juga menggelar program PSA dengan pengurangan sanksi sebesar 50% hingga 75%. (sap)