Narasumber diskusi Simposium Nasional Perpajakan IX: Ketua IAI KAPj Wilayah Jawa Timur Elia Mustikasari (pertama dari kiri), Budayawan Madura K.H. Zawawi Imron (ketiga dari kiri), dan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya K.H. Abd. Salam Nawawi (paling kanan).
BANGKALAN, DDTCNews - Pemungutan pajak ternyata cukup menarik jika ditinjau dari sudut pandang budaya dan agama Islam. Hal ini diungkap dalam sesi diskusi Simposium Nasional Perpajakan IX yang digelar oleh Jurusan Akuntansi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Trunojoyo Madura, Rabu (29/11/2023).
Budayawan Madura K.H. Zawawi Imron mengungkapkan pajak sejatinya sudah melekat di tengah masyarakat di Indonesia. Pada era kolonialisme, sebagian besar ulama memfatwakan haram terhadap pemungutan pajak oleh pemerintah Belanda. Fatwa haram itu muncul lantaran pajak dianggap sebagai bentuk pemerasan terhadap rakyat dan manfaatnya tidak dirasakan oleh rakyat Indonesia.
"Saat itu pajak dianggap sebagai kezaliman penjajah. Baru setelah Indonesia merdeka, Nahdlatul Ulama (NU) mengumumkan bahwa pajak justru dianjurkan. Pajak dipungut untuk memakmurkan rakyat," kata Zawawi.
Namun, Zawawi juga memberikan catatan kepada pemerintah agar pemungutan pajak bisa lebih optimal. Menurutnya, pemungutan pajak perlu dilandasi dengan kesadaran dan kesukarelaan dari masyarakat. Karenanya, otoritas pajak perlu menekankan transparansi dalam penggunaan uang pajak.
"Pajak ini berkaitan dengan budaya. Jadi butuh kesadaran. Budaya itu berisi hal-hal positif. Menyedekahkan uang untuk negara itu hal positif. Namun, rakyat perlu memahami untuk apa-apa saja uang pajak digunakan," kata Zawawi.
Pajak dalam Islam
Penjelasan Zawawi dari aspek budaya di atas didukung oleh pemaparan Dosen UIN Sunan Ampel Surabaya K.H. Abd Salam Nawawi. Nawawi menjelaskan bahwa sistem pemungutan pajak memiliki banyak kemiripan dengan sejumlah pungutan yang dijalankan oleh pemerintahan Islam sejak zaman Nabi Muhammad SAW.
Berdasarkan UU KUP, pajak didefinisikan sebagai kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Sementara di dalam Islam, pajak disebut sebagai al-dharibah dalam bahasa Arab yang berarti beban. Namun, istilah ini tidak muncul sama sekali di dalam Al-Qur'an dan hadis. Pajak juga tidak muncul dalam sebutan beberapa pungutan oleh negara yang tercatat pada sejarah sosial, hukum, dan pemerintahan Islam.
"Lantas muncul pertanyaan apakah kontribusi wajib semacam pajak ini ada di dalam Islam?" tanya Nawawi.
Dia lantas menjelaskan bahwa di dalam pemerintahan Islam ada empat jenis pungutan. Keempatnya adalah zakat, jizyah, kharaj, dan 'usyur.
Zakat secara etimologi bermakna suci, berkembang, atau bertambah. Sementara secara terminologi zakat adalah sedekah wajib yang dipungut dari harta kekayaan warga Muslim dan didistribusikan kepada golongan sesuai dengan ketentuan dan syariat.
Menariknya, zakat memiliki kesamaan dengan pajak dalam 4 hal. Pertama, berupa paksaan dan kewajiban. Kedua, penyetoran ke negara. Ketiga, tanpa imbalan langsung. Keempat, tujuan kemasyarakat, ekonomi, dan politik di samping keuangan.
Sementara itu, jizyah, adalah balas jasa atau ganti rugi. Jizyah merupakan sejumlah harta yang dipungut dari warga nonmuslim sebagai ganti rugi atau kompensasi dari perlindungan negara yang diberikan kepadanya sesuai dengan perjanjian ('aqd al-zimmah).
Menurut Nawawi, Nabi Muhammad SAW memungut jizyah dari beberapa pihak, yakni Yahudi Jarba' dan Adrus di perbatasan Suriah, Nasrani Najran di utara Yaman, dan dari Majusi Bahrain berdasarkan 'aqd al-zimmah atau perjanjian perlindungan.
Terakhir, kharaj adalah hasil dari sesuatu, upah, atau sewa. Kharaj dipungut dari hasil tanah kharijyah (tanah milik baitul mal) yang dipungut dari warga nonmuslim yang menjadi penggarapnya sebagai biaya sewa sesuai dengan perjanjian.
Selain keempat model pemungutan di atas, ada pula pajak barang dagangan (bea dan cukai) yang dipungut dari pedagang nonmuslim harbi yang masuk ke negara Islam dengan jaminan keamanan (musta'minim) dan dari pedagang nonmuslim zimmiyin. Para zimmiyin dikenakan setengah 'usyur atau sebesar 5% karena warga muslim pun dikenai tarif serupa ketika berdagang di luar nagara Islam.
Deskripsi tentang jenis-jenis pungutan dalam sejarah pemerintahan Islam di atas menggambarkan bahwa pungutan wajib yang diambil dari warga muslim hanyalah zakat. Sedangkan jizyah, kharaj, dan 'usyur semuanya dipungut dari nonmuslim.
"Jizyah dan Kharaj kurang berwajah pajak karena pembayarnya mendapat imbalan langsung, yakni perlindungan keamanan untuk jizyah dan hak memanfaatkan tanah kharajiyah untuk kharaj. Yang berwajah pajak hanya 'usyur yang ditetapkan Umar bin Khatthab karena mengimbangi perlakuan penguasa nonmuslim terhadap pedagang muslim," kata Nawawi.
Secara umum, Nawawi menambahkan, membayar pajak sesuai dengan peraturan dan ketentuan perundang-undangan adalah wajib hukumnya. Hal ini sejalan dengan pemahaman bahwa seluruh perintah ulil amri mengenai urusan nonmaksiat wajib untuk ditaati oleh rakyat.
"Membayar pajak untuk keperluan negara dan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat bukan hanya nonmaksiat tetapi juga belanja pemerintah demi kebaikan masyarakat. Selain itu, hidup bernegara adalah manifestasi akad sosial yang perlu dijalankan," kata Nawawi. (sap)