Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Bea dan Cukai (DJBC) membantah anggapan bahwa pemberian fasilitas kawasan berikat menjadi penyebab lesunya industri tekstil di dalam negeri.
Kepala Subdirektorat Hubungan Masyarakat dan Penyuluhan DJBC Encep Dudi Ginanjar mengatakan pemerintah memberikan fasilitas kawasan berikat berdasarkan PMK 131/2018 s.t.d.d. PMK 65/2021 salah satunya untuk mendukung pengembangan industri tekstil di dalam negeri. Kawasan berikat merupakan tempat penimbunan berikat untuk menimbun barang impor dan/atau barang yang berasal dari tempat lain dalam daerah pabean guna diolah atau digabungkan, yang hasilnya terutama untuk diekspor.
"Faktanya, fasilitas ini telah memainkan peran penting dalam mendukung dan memajukan industri tekstil di Indonesia," katanya, dikutip pada Kamis (5/10/2023).
Encep mengatakan fasilitas kawasan berikat diberikan untuk dapat meningkatkan investasi dan jumlah tenaga kerja di sektor industri pengolahan khususnya tekstil dan produk tekstil (TPT). Selain itu, fasilitas kawasan berikat juga bertujuan mendorong substitusi impor atas barang dari luar negeri.
Kegiatan utama yang dilakukan pada kawasan berikat, antara lain kegiatan usaha industri pengolahan barang dan bahan, memproses bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi, serta barang jadi yang diubah menjadi barang dengan nilai yang lebih tinggi.
Keistimewaan yang diberikan kepada penerima fasilitas kawasan berikat di antaranya adalah penangguhan bea masuk, pembebasan cukai, serta tidak dipungut PPN, PPnBM dan PPh Pasal 22.
Dengan ketentuan tersebut, dia menilai anggapan mengenai pemberian kawasan berikat yang menyebabkan industri TPT di dalam negeri menjadi lesu tidak benar. Alasannya, fasilitas kawasan berikat hanya diberikan kepada perusahaan yang berorientasi ekspor.
Kemudian, kelesuan sebetulnya tidak hanya terjadi pada industri TPT secara umum, tetapi juga industri TPT yang dengan fasilitas kawasan berikat. Data survei Asosiasi Pengusaha Kawasan Berikat (APKB) menyatakan ada 16 perusahaan kawasan berikat TPT yang mengalami kontraksi ekspor sehingga akan melakukan mitigasi untuk penjualan lokal lebih dari 50% dengan syarat mendapat rekomendasi jual lokal lebih 50% dari Kemenperin.
"Selain itu perlu juga menjadi perhatian bahwa barang hasil produksi kawasan berikat baik yang bahan baku impor atau lokal saat dijual ke dalam negeri wajib melunasi bea masuk, pajak dalam rangka impor, dan PPN dalam negeri," ujarnya.
Selama ini, Encep menyebut fasilitas kawasan berikat terbukti efektif mendorong kinerja ekspor nasional, hal ini terindikasi pada rasio ekspor terhadap impor pada perusahaan pengguna fasilitas kepabeanan yang terus mengalami peningkatan. Nilai ekspor pada perusahaan kawasan berikat hingga Agustus 2023 senilai US$48,53 miliar dan impor US$11,43 miliar sehingga rasio sebesar 4,24.
Adapun untuk data penjualan produk tekstil dan produksi tekstil dari kawasan berikat ke pasar lokal, angkanya hanya berkisar 10% hingga 12% dibandingkan dengan produk impor langsung dari luar negeri.
Di sisi lain, kinerja ekspor kawasan berikat TPT terhadap ekspor TPT nasional juga relatif signifikan. Ekspor TPT dari kawasan berikat mencapai US$4,93 miliar, jauh lebih tinggi daripada ekspor produk yang bukan dari kawasan berikat senilai US$1,13 miliar.
"Ekspor dari kawasan berikat menyumbang sekitar 80% dari total ekspor produk tekstil dan produksi tekstil, yang menunjukkan bahwa produk dari kawasan berikat masih mendominasi pasar," imbuhnya.
Encep menambahkan DJBC bersama aparat penegak hukum dan instansi terkait telah memastikan pemanfaatan fasilitas kawasan berikat dijalankan sesuai aturan. Menurutnya, DJBC juga senantiasa mengedepankan sinergi untuk menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemanfaatan kawasan berikat. (sap)