Founder DDTC Darussalam.
JAKARTA, DDTCNews - Indonesia dipandang perlu melanjutkan reformasi pajak. Tujuannya, meningkatkan penerimaan secara jangka panjang dalam rangka memenuhi kebutuhan belanja pada APBN.
Founder DDTC Darussalam mengatakan reformasi pajak tidak bisa didesain secara instan dan ditujukan untuk memenuhi tujuan jangka pendek semata. Berkaca pada pengalaman di 32 negara yang berhasil melaksanakan reformasi pajak, tax ratio di negara-negara tersebut naik 5,5% dalam rata-rata waktu 10,7 tahun.
"Kalau diambil per tahun, reformasi pajak bisa meningkatkan tax ratio sebesar 0,5% per tahunnya," ujar Darussalam dalam Diskusi Perpajakan 2023: Sudah Tepatkah Arah Kebijakan Pajak Kita dalam RAPBN 2024? pada Selasa (29/8/2023).
Agar reformasi pajak di suatu negara bisa berhasil dan mampu meningkatkan tax ratio, Darussalam mengatakan setidaknya ada 4 faktor yang harus dipenuhi.
Pertama, reformasi pajak perlu mendapatkan dukungan ekonomi politik dari pemimpin negara dimaksud. "Bagaimana pemimpin suatu negara bisa meng-endorse dan mendorong bahwa pajak topik utama. Kalau kita bicara pemilu, kita selalu bicara alokasi anggaran tetapi kita lupa uangnya dari mana," ujar Darussalam.
Kedua, reformasi pajak perlu didukung dengan perbaikan desain kebijakan. Ketiga, reformasi pajak juga perlu mendapatkan dukungan dari administrasi pajak. Keempat, reformasi pajak juga perlu berorientasi pada peningkatan kepatuhan.
Lalu, bagaimana dengan Indonesia? Sejak 1983, Indonesia tercatat sudah melakukan reformasi pajak sebanyak 6 kali. Namun tax ratio Indonesia tampak belum banyak berubah. Tax ratio pada 1969 tercatat hanya sebesar 6,3%. Pada 2019, tax ratio tercatat sebesar 9,8%.
Mengingat kontribusi pajak terhadap total penerimaan perpajakan kian besar, upaya peningkatan penerimaan dan tax ratio menjadi kian penting. Penerimaan pajak perlu senantiasa naik, mengingat Indonesia melalui RPJPN 2025-2045 menargetkan tax ratio sebesar 18% pada 2024.
Dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) yang ditargetkan mencapai 6% setiap tahunnya, Indonesia memerlukan tax buoyancy setidaknya di atas 1 setiap tahunnya.
"Reformasi pajak yang berjalan selama ini sudah menjadi landasan untuk mencapai target-target pajak, tetapi kita tidak bicara target pajak, melainkan tax ratio itu sendiri," ujar Darussalam.
Agar reformasi pajak ke yang dilaksanakan pemerintah ke depan mampu meningkatkan tax ratio, Darussalam mengatakan pemerintah perlu melaksanakan reformasi dari sisi administrasi dan kebijakan.
Berdasarkan perkiraan IMF, reformasi administrasi mampu memberikan kenaikan tax ratio sebesar 1,5%, sedangkan reformasi kebijakan bakal memberikan tambahan tax ratio sebesar 3,5%.
Menurut Darussalam, terdapat beberapa terobosan penting yang perlu diambil guna meningkatkan tax ratio. Pertama, otoritas pajak perlu berupaya mengikis shadow economy melalui perluasan basis pajak dan akses informasi keuangan.
Mengingat Indonesia menganut sistem self-assessment, otoritas pajak perlu memiliki akses informasi dari sektor keuangan maupun pihak-pihak lainnya agar penghitungan dan pelaporan dari wajib pajak bisa diuji.
Basis pajak juga masih perlu diperluas dengan cara meningkatkan partisipasi tenaga kerja nonkaryawan ke dalam sistem administrasi pajak. Dengan adanya implementasi NIK sebagai NPWP, masalah ini diharap bisa segera diatasi.
Kedua, kebijakan belanja perpajakan juga harus terus terus ditimbang ulang. Pada 2022, belanja perpajakan tercatat mencapai Rp323,5 triliun. Adapun salah kebijakan yang perlu ditimbang ulang adalah threshold pengusaha kena pajak (PKP) yang saat ini senilai Rp4,8 miliar.
"Di UU HPP ini [threshold PKP] menjadi isu yang menarik. Ini isunya terkait dengan masyarakat miskin dan berpenghasilan rendah. Berani tidak menurunkan threshold dari Rp4,8 miliar ke Rp1,2 miliar?" ujar Darussalam.
Ketiga, Indonesia juga perlu meninjau kontribusi tiap sektor perekonomian terhadap penerimaan pajak. Pasalnya, terdapat beberapa sektor yang tergolong undertaxed karena kontribusinya terhadap penerimaan pajak masih lebih rendah bila dibandingkan dengan kontribusinya terhadap PDB.
Sektor-sektor dimaksud adalah sektor pertanian, pertambangan, dan konstruksi. Sektor pertanian cenderung kurang dipajaki akibat banyaknya pembebasan pajak atas bahan pokok, sedangkan sektor konstruksi cenderung kurang dipajaki akibat pemberlakuan PPh final. (sap)