Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Pemerintah terus mematangkan rencana ekstensifikasi barang kena cukai (BKC), terutama pada minuman bergula dalam kemasan (MBDK) pada 2024.
Dokumen Buku II Nota Keuangan RAPBN 2024 menyatakan pengenaan cukai MBDK diperkirakan dapat membuat struktur penerimaan cukai lebih proporsional. Sebab, penerimaan cukai selama ini masih sangat bergantung pada penerimaan cukai hasil tembakau (CHT).
"Diperlukan adanya burden sharing kepada barang lainnya yang dapat dikenakan cukai. Sampai saat ini, industri hasil tembakau masih menanggung beban target penerimaan cukai secara dominan," bunyi dokumen tersebut, dikutip pada Senin (21/8/2023).
Capaian penerimaan cukai pada 2022 senilai Rp226,88 triliun atau 103,1% dari target yang tertuang dalam Perpres 98/2022. Dari capaian tersebut, penerimaan CHT berkontribusi senilai Rp218,62 triliun atau 96,4% terhadap total penerimaan cukai.
Saat ini, Indonesia hanya mengenakan cukai pada 3 objek, yaitu minuman mengandung etil alkohol (MMEA), hasil tembakau, dan etil alkohol. Adapun setoran dari CHT cukup mendominasi ketimbang barang kena cukai lainnya seperti MMEA dan etil alkohol.
Dibandingkan dengan negara Asean lainnya, Indonesia termasuk negara dalam kelompok extremely narrow coverage dalam pengenaan cukai. Atas kondisi itu, pemerintah mendorong kebijakan untuk menambah jenis barang yang akan dikenakan cukai berupa MBDK.
MBDK merupakan minuman dalam kemasan yang mengandung gula, pemanis alami dan/atau pemanis buatan, yang dikemas bersama-sama maupun secara terpisah, tidak termasuk minuman mengandung etil alkohol.
Salah satu latar belakang utama perlu adanya ekstensifikasi cukai terhadap MBDK adalah tingginya prevalensi penyakit tidak menular di Indonesia seperti diabetes melitus tipe II.
Prevalensi diabetes melitus di Indonesia meningkat 30% hanya dalam periode 2013 sampai 2018, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar terakhir.
Pengenaan cukai atas MBDK dinilai mampu mengurangi angka kematian dini akibat penyakit tidak menular, termasuk diabetes, sebagaimana tertuang dalam butir 3.4 dari SDGs.
"Dengan momentum pemulihan ekonomi yang ditandai dengan pertumbuhan ekonomi 2022 sebesar 5,31%, memberikan ruang fiskal bagi pemerintah untuk memberlakukan kebijakan cukai terhadap MBDK di tahun 2024," bunyi dokumen nota keuangan.
Wacana pengenaan cukai MBDK telah disampaikan pemerintah kepada DPR sejak awal 2020. Pemerintah dan DPR kemudian mematok target penerimaan cukai MBDK untuk pertama kalinya pada APBN 2022 senilai Rp1,5 triliun.
Melalui Perpres 98/2022, target itu kemudian direvisi menjadi Rp1,19 triliun. Adapun untuk 2023, target penerimaannya ditetapkan senilai Rp3,08 triliun atau naik 158,82% dari target tahun lalu senilai Rp1,19 triliun. (rig)