Ilustrasi.
JAKARTA, DDTCNews - Ditjen Pajak (DJP) meminta wajib pajak orang pribadi yang menyampaikan SPT Tahunan dengan lebih bayar maksimal Rp100 juta untuk tidak khawatir dalam mengajukan permohonan restitusi dipercepat. Topik tersebut menjadi salah satu bahasan media nasional pada hari ini, Jumat (12/5/2023).Â
Imbauan agar tidak khawatir itu ternyata ada alasannya. Melalui Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-5/PJ/2023, wajib pajak orang pribadi tidak akan dikenai sanksi berupa kenaikan sebesar 100% apabila di kemudian hari diperiksa dan ditemukan adanya kekurangan pembayaran pajak.
"Orang tidak perlu lagi khawatir untuk klaim lebih bayar, walaupun lebih bayarnya mungkin enggak terlalu besar," kata Dirjen Pajak Suryo Utomo.Â
Nanti, kekurangan pembayaran pajak yang ditemukan di kemudian hari hanya akan dikenakan sanksi administrasi sebesar suku bunga acuan ditambah dengan uplift factor sebesar 15% sesuai dengan Pasal 13 ayat (2) UU KUP.
Selama ini, banyak wajib pajak orang pribadi dengan lebih bayar maksimal Rp100 juta yang tidak mengajukan permohonan restitusi dipercepat sesuai dengan Pasal 17D UU KUP meski sesungguhnya berhak memanfaatkan fasilitas tersebut.
Akibatnya, banyak wajib pajak orang pribadi dengan nilai lebih bayar yang tergolong kecil yang mengajukan permohonan restitusi normal sesuai dengan Pasal 17B UU KUP.
Wajib pajak tersebut lebih memilih untuk mengajukan restitusi berdasarkan Pasal 17B UU KUP agar terhindar dari potensi pengenaan sanksi sebesar 100%.
Selain topik tentang restitusi dipercepat, ada pula bahasan mengenai rencana peluncuran aplikasi e-Tax Court, update laporan realisasi repatriasi dan investasi PPS, serta ketentuan mengenai pengenaan PPN atas penyerahan agunan yang diambil alih (AYDA).Â
Berikut ulasan berita selengkapnya.Â
Direktur Peraturan Perpajakan II DJP Teguh Budiharto menegaskan tidak semua wajib pajak yang menerima restitusi dipercepat berdasarkan Pasal 17D UU KUP bakal diperiksa.Â
Pemeriksaan hanya dilakukan terhadap wajib pajak yang ditengarai memiliki kekurangan pembayaran berdasarkan analisis risiko.
"Apakah pasti dia tidak diperiksa nantinya? Itu tergantung analisis risikonya, ada data dan informasi yang lain tidak. Tidak semua [diperiksa]," ujar Teguh.
Kalau nantinya wajib pajak orang pribadi yang menerima restitusi dipercepat berdasarkan Pasal 17D diperiksa oleh DJP dan ditemukan adanya kekurangan pembayaran, wajib pajak tidak dikenai sanksi administrasi berupa kenaikan sebesar 100%. Wajib pajak hanya dikenai sanksi sebesar suku bunga acuan per bulan ditambah dengan uplift factor sebesar 15% saja. (DDTCNews)
Sekretariat Pengadilan Pajak segera meluncurkan e-tax court. Aplikasi 'pengadilan pajak online' tersebut setidaknya akan memuat 5 fitur.
Kelima fitur yang tersedia dalam e-tax court yakni e-registration, e-filing, e-litigation, e-putusan, dan dashboard. Pengadilan Pajak meyakini berbagai fitur ini akan membuat proses pengajuan dan pemantauan gugatan/banding menjadi makin mudah.
"Memang pasti berbeda. Kalau dulu kita harus datang ke loket, antre, dan ke pos juga kita melibatkan pihak ketiga, [harus] menunggu lagi. Namun apabila mengajukan banding/gugatan menggunakan e-tax court, hanya dengan diunggah," kata Tim Regulasi/Probis e-Tax Court Aniek Andriani. (DDTCNews)
DJP mencatat sudah ada puluhan laporan realisasi repatriasi dari wajib pajak peserta PPS yang dilakukan melalui e-reporting program pengungkapan sukarela (PPS) di DJP Online.
Hingga 11 Mei 2023, terdapat 43 wajib pajak peserta PPS yang telah menyampaikan laporan realisasi repatriasi. Lebih lanjut, terdapat 129 wajib pajak peserta PPS yang sudah menyampaikan laporan realisasi investasi melalui aplikasi e-reporting PPS. (DDTCNews)
DJP menekankan pengusaha kena pejak (PKP) debitur yang asetnya diambil alih oleh kreditur tidak dibebani kewajiban untuk memungut PPN.
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan meski pengambilalihan oleh kreditur atas agunan milik PKP debitur yang wanprestasi sesungguhnya adalah penyerahan, kewajiban untuk memungut PPN tidak lagi dibebankan kepada debitur seiring dengan berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 41/2023.
Sesuai dengan Pasal 5 PMK 41/2023, pengambilalihan agunan oleh kreditur dari debitur tidak diterbitkan faktur pajak. (DDTCNews)
DJPÂ mengungkapkan pemerintah sedang melakukan harmonisasi atas peraturan menteri keuangan (PMK) yang mengatur tentang aspek teknis dari pengenaan PPh atas natura dan kenikmatan.
Direktur Peraturan Perpajakan I DJP Hestu Yoga Saksama mengatakan harmonisasi diharapkan bisa segera selesai sehingga PMK yang dimaksud dapat diundangkan pada Juni 2023.
"Natura pada prinsipnya sudah finalisasi, tinggal kita harmonisasikan di Kemenkumham. Mudah-mudahan dalam sebulan ke depan sudah selesai. Mudah-mudahan sebulan ke depan sudah bisa kita terbitkan," ujar Yoga. (DDTCNews, CNN)Â (sap)