Ilustrasi gedung BPK.
JAKARTA, DDTCNews – Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) meminta agar Ditjen Pajak (DJP) memperbaiki pengelolaan data perpajakan dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi, dan pihak lain (ILAP). Permintaan BPK ini menjadi bahasan beberapa media nasional pada hari ini, Kamis (27/6/2019).
Auditor negara, dalam Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II, menyatakan perbaikan pengelolaan data ILAP dimaksudkan untuk efektivitas terlaksananya fungsi pengawasan dan penegakan hukum. Pasalnya, ada dua masalah signifikan dalam pengelolaan data eksternal dari ILAP.
Pertama, pembangunan data eksternal dari ILAP di Kantor Pusat DJP, Kantor Wilayah (Kanwil) DJP, dan Kantor Pelayanan Pajak (KPP) belum sepenuhnya mengacu kepada ketentuan. Kedua, KPP belum optimal memanfaatkan data ILAP.
Hasil pengujian atas potensi pajak yang dapat diterima DJP terhadap salah satu jenis data ILAP yaitu undian gratis berhadiah (UGB). Terdapat pajak penghasilan (PPh) yang berpotensi belum disetor ke kas negara minimal sebesar Rp190,36 miliar.
Selain itu, beberapa media nasional juga menyoroti permintaan pelaku usaha kepada pemerintah agar mengevaluasi pengenaan tarif PPh impor atas barang mewah. Seperti diketahui, pemerintah menaikkan tarif PPh pasal 22 impor untuk 1.147 pada tahun lalu.
Berikut ulasan berita selengkapnya.
Dalam IHPS II BPK, DJP disebut telah menjalankan pengelolaan data perpajakan dari ILAP. DJP telah memiliki unit pelaksana teknis yang memiliki tugas sebagai unit pengolah data dari pihak ketiga yaitu Kantor Pengolahan Data Eksternal (KPDE). DJP juga menyediakan aplikasi untuk menampilkan data ILAP yang telah dilakukan cleansing and matching pada Aplikasi Portal DJP (AppPortal).
Selain itu, DJP juga memiliki aplikasi yang dapat digunakan untuk menampilkan hasil penyandingan data, yaitu aplikasi Profil Wajib Pajak Berbasis Web (Approweb). Aplikasi tersebut merupakan peralatan bagi account representative untuk melakukan pengawasan terhadap wajib pajak.
Shinta W. Kamdani, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengatakan dalam kebijakan penyesuaian tarif PPh pasal 22 impor, cukup banyak komoditas atau barang yang tidak sesuai pengelompokannya.
Pasalnya, ada beberapa produk impor yang seharusnya masuk dalam kriteria barang modal, tetapi digolongkan sebagai barang konsumsi mewah sehingga mendapat beban tarif PPh yang tinggi. Salah satu barang tersebut adalah mesin industri dan mesin medis.
Berbagai relaksasi kebijakan pajak untuk sektor properti mewah dikhawatirkan menjadi pemicu tindakan pencucian uang para pelaku kejahatan. Apalagi, menurut Kepala PPATK Kiagus Ahmad Badaruddin, sejalan dengan peningkatan transparansi keuangan, pelaku kejahatan cenderung menyembunyikan harga kekayaannya dalam transaksi nonkeuangan. Properti, aset, dan uang tunai menjadi pilihan.
OECD dalam Money Loundering and Terorist Financing Awareness Handbook for Tax Examiners and Tax Auditors juga memaparkan kecenderungan para pelaku kriminal, baik terkait perpajakan maupun kriminal lainnya, menyamarkan uangnya ke berbagai bentuk investasi, termasuk real estat.